Sunday, July 18, 2010

Harga Buku: Tidak Cukup Dengan Membeli Hak Cipta!

KELUHAN masyarakat soal mahalnya buku teks pelajaran (BTP) mulai direspon pemerintah dengan membeli hak cipta BTP. Tahun ini dianggarkan Rp. 4 miliar untuk 59 jilid buku. Pemerintah mengundang para penulis untuk mengirim naskahnya hingga 5 Oktober 2007. Pemerintah akan memperbanyak dalam bentuk disket, cakram, dan e-book di internet. Masyarakat mengaksesnya secara gratis, kecuali untuk kepentingan komersial harus mendapat ijin, seperti para penerbit buku cetak Butir perjanjian yang akan diikat bahwa para penerbit harus menjual dengan harga 50 persen lebih murah dari saat ini. (Kompas, 30 Juli 2007: 12).

Apakah kebijakan ini dapat menolong dayabeli masyarakat dalam melaksanakan hak untuk memperoleh pendidikan?

BTP dan Dayabeli

Dayabeli BTP adalah kemampuan membeli BTP. Kemampuan membeli sangat bergantung kepada keseimbangan yang rasional antara keadaan keuangan yang dimiliki dengan harga BTP yang ditawarkan. Apabila harga BTP lebih tinggi dari keadaan riil keuangan yang dimiliki, maka orang tidak akan bisa membeli BTP. Sebaliknya, apabila harga BTP lebih rendah dari keadaan riil keuangan yang dimiliki, maka orang akan bisa membeli BTP.

Ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah, yaitu: (1) Menekan harga buku hingga di bawah atau seimbang dengan keadaan keuangan masyarakat, dan (2) Meningkatkan pendapatan masyarakat. Apa yang dilakukan pemerintah dengan pembelian hak cipta adalah dalam rangka menekan harga buku.

Yang paling penting dari dayabeli adalah bukan hanya menekan harga jual BTP-nya, tetapi keseimbangan antara keadaan keuangan dengan harga BTP. Padahal keseimbangan antara keadaan keuangan dan harga BTP itu tidak hanya dengan rendahnya 50 persen harga BTP dari saat ini, tapi juga dari tidak bertambah tingginya inflasi dan harga barang dan jasa kebutuhan hidup yang lainnya serta meningkatnya pendapatan masyarakat.

Mengharapkan harga buku turun 50 persen dari saat ini adalah sesuatu yang sulit terjadi! Dari patokan pemerintah bahwa penerbit hanya boleh menjual 50 persen lebih rendah dari harga saat ini menunjukkan pemerintah menilai bahwa selama ini para penulislah yang mengambil bagian 50 persen dari harga buku. Padahalnya tidak ada satupun penulis buku di Indonesia yang pernah dibayar 50 persen dari harga jual buku. Jatah untuk para penulis berkisar antara 10-20 persen. Bila sekarang pemerintah membeli hak cipta penulis, berarti pemerintah baru memotong 10-20 persen dari harga jual BTP.

Kemudian, inflasi setiap tahun terjadi kurang-lebih 15 persen. Ini berarti setiap tahun penerbit harus menaikkan harga BTP kurang-lebih 15 persen. Jika dibanding dengan pembelian hak cipta penulis, maka harga buku di masa depan minimalnya sama dengan harga saat ini. Ini berarti mimpi akan harga BTP 50 persen lebih rendah dari saat ini adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

Jika pemerintah menginginkan harga BTP masa depan 50 persen lebih rendah dari saat ini, maka unit belanja produksi BTP yang dibiayai pemerintah tidak hanya sekadar membeli hak cipta; melainkan hingga ke unit-unit lainnya. Unsur-unsur biaya produksi buku meliputi royalti penulis, percetakan, distribusi, dan fee penerbit. Biasanya biaya cetak antara 20-30 persen, distribusi antara 30-50 persen (toko buku saja mintanya minimal 30 persen), fee penerbit antara 5-30 persen. Jadi, bila pemerintah membeli hak cipta penulis dan inflasi 15 persen per-tahun, maka harga BTP masa depan minimalnya baru sama dengan yang sekarang. Bila pemerintah mau menekan harga BTP masa depan hingga 50 persen, maka pemerintah harus ikut membiayai unit belanja percetakan atau distribusinya.

Tentu pemerintah akan kesulitan dana untuk melakukan subsidi BTP. Tetapi dengan menstabilkan harga BTP masa depan sama dengan yang sekarang saja sudah cukup membantu masyarakat; ketimbang harga BTP masa depan naik terus. Tapi kalau pemerintah mau konskuen pada regulasi anggaran pendidikan minimal 20 persen APBN/APBD, maka pemerintah ikut membiayai 50 persen dari keseluruhan biaya produksi BTP bukan hal yang berat.

Harga BTP saat ini pun sebenarnya masih bisa ditekan. Yang membuat biaya produksi BTP jadi mahal adalah masuknya pihak sekolah (guru) dengan menggunakan kekuasaannya sehingga terjadi monopoli pasar BTP. Setelah guru memilih BTP tertentu, kemudian mereka mewajibkan siswa untuk membayar dengan harga yang sudah mereka tentukan demi keuntungan di pihak sekolah/guru (BI Purwantari, Kompas, 30 Juli 2007: 36). Sementara itu, kekuasaan guru di sekolah sangat powerfull di mata orangtua dan (termasuk Komite Sekolah); baik karena orangtua takut para guru menekan nilai anak mereka maupun karena kehadiran Komite Sekolah masih sebagai 'penyetuju' keputusan sekolah/guru (Tonggo Anthon, Pikiran Rakyat, 2/8/2007). Oleh karena itu, sebenarnya salah satu cara pemerintah menekan biaya produksi BTP adalah dengan meniadakan campur tangan sekolah/guru dari tata niaga BTP dan memberdayakan Komite Sekolah (berubah dari 'penyetuju' ke 'penilai', 'penimbang', dan 'pengambil keputusan' atas setiap usulan sekolah/guru).

Awas Neo-Kapitalisme BTP!

Kehadiran kapitalisme di muka bumi ini tidak pernah sepi dari kritikan! Mekanisme pasar terlalu 'liar-buas' untuk siap memangsai setiap kaum lemah hingga kemiskinan dan kesenjangan menjadi pemandangan dunia yang amat memilukan. Lalu muncullah pemikiran bahwa pemerintah harus campur tangan dalam mengatur pasar, agar pasar lebih 'ramah' kepada kaum lemah. Inilah yang disebut dengan neo-kapitalisme!

Namun dunia kini bingung mencari sistem pengganti neo-kapitalisme; karena ternyata para birokrat (di belahan dunia mana pun) sukanya 'berselingkuh' dengan para pengusaha agar sama-sama berbuat saling menguntungkan diri sendiri dan sama-sama 'memeras' rakyat. Indonesia pun yang memproklamirkan diri sebagai ekonomi pancasila pun tidak jelas posisinya; melainkan ber-KKN dengan pengusaha untuk mengeruk keuntungan 'haram'.

Mekanisme masuknya BTP ke sekolah sudah diatur melalui Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005, tentang Buku Teks Pelajaran. Pasal 3 mengamanatkan bahwa BTP harus ditetapkan oleh Menteri atas rekomendasi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (Ayat 1), untuk muatan lokal ditetapkan oleh gubernur/bupati/wali kota (Ayat 2). Namun pengalaman membuktikan bahwa beberapa pejabat justru terlibat korupsi dalam pengadaan BTP, misalnya yang sudah menjebloskan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman (dan kini sedang membidik Bupati Sleman) dan pejabat-pejabat lainnya di negeri ini.

Republik ini sudah dicap-resmi sebagai republik korup yang melanda ke semua pelosok tanah air! Bila sekarang Sleman yang terungkap, bukan berarti daerah lain tidak korup terhadap BTP. Kebetulan baru Sleman saja yang diungkapkan. Ini berarti mahalnya BTP selama ini adalah tidak terlepas dari adanya KKN antara pejabat dan pengusaha/penerbit.

Bayangkan, baru pasal 'persetujuan' BTP masuk sekolah saja sudah membuat BTP semahal itu. Apalagi kalau ditambah dengan pembelian hak cipta penulis BTP! Bisa-bisa penulisnya hanya terima Rp. 1 juta, tapi lapor ke negara Rp. 100 juta. Jadi, yang paling penting di sini adalah bagaimana mekanisme pembelian hak cipta menjamin tidak adanya 'perselingkuhan' antara pejabat dan penulisnya?

Jangan mengira bahwa masyarakat tidak rugi karena membeli pakai uang negara. Uang negara itu uangnya rakyat juga! Nanti juga rakyat sendiri yang makin susah.

Tidak Harus Dengan BTP!

Kita terlalu tidak berani dengan berpikir lateral! Berbicara tentang peningkatan mutu pendidikan, BTP selalu mejadi pilihan wajib. Saya mengajak agar kita mencoba berpikir untuk meninggalkan BTP.

Anak saya pernah saya coba untuk memiliki BTP (ketika Kelas I dan II SD) dan tidak memiliki BTP (ketika Kelas III). Ternyata, baik proses maupun hasil belajar, anak saya tidak mengalami perbedaan mendasar antara memiliki dengan tidak memiliki BTP. Dia bisa mengikuti setiap proses belajar-mengajar (PBM) dan hasilnya lebih bagus ketika dia tidak memiliki BTP. Bagaimana cara belajar dengan tidak memiliki BTP?

Pemerintah sudah menyusun kurikulum dan silabus setiap mata pelajaran, baik di tingkat nasional maupun muatan lokal. Kami berusaha memiliki lembaran-lembaran itu. Ternyata ketebalan silabus setiap mata pelajaran berkisar antara 1 hingga 5 halaman kuarto. Kami fotokopikan silabus-silabus itu. Di SD hanya enam pelajaran, maka semua silabus dalam satu kelas hanya membutuhkan antara 5 hingga 30 halaman kuarto. Jika biaya fotokopi per-lembar Rp. 100, maka kami hanya mengeluarkan uang sekitar maksimum Rp.3.000. Padahal sebelumnya kami keluarkan uang tidak kurang dari Rp. 200.000.

Sebetulnya kalau kita pahami baik-baik terhadap BTP yang beredar saat ini dengan tebal per-bukunya hingga 100 lebih halaman, ternyata isinya sangat sedikit! Setiap kelas paling banyak terdapat 20 materi.

Tanpa membaca BTP, isi setiap materi hanyalah jawaban atas sekitar lima kata tanya: apa, mengapa, bagaimana, siapa, kapan, dan di mana. Misalnya, apa itu air, mengapa ada air, bagaimana air bisa eksis, siapa yang membutuhkan air, kapan adanya air, dan di mana air ada. Bagi orangtua atau keluarga yang serius mendidik anak, pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidaklah sulit untuk dijelaskan kepada anak. Dewasa ini, informasi seperti ini mudah didapati; lewat orang-per-orang, media massa, dan perenungan pribadi.

Salah satu sumber yang memudahkan kami adalah memiliki kamus dan ensiklopedi. Setiap pelajaran kami memiliki kamus dan ensiklopedinya. Jika SD dengan enam mata pelajaran dan setiap pelajaran kami memiliki kamus dan ensiklopedia, maka selama di SD anak kami hanya punya 12 buku, yaitu enam kamus dan enam ensiklopedi. Ensiklopedi dan kamuslah yang akan menjawab lima kata tanya tadi dalam setiap materi.

Mengapa hasil yang diraih anak saya lebih bagus daripada ketika mereka memiliki BTP? Ternyata mutu BTP kita cukup jelek! Dalam Pikiran Rakyat (2/8/2007) saya sudah menguraikan, bahwa saya belum temukan BTP yang berkualitas bagus; baik dari aspek ketuntatasn konsep, kebenaran konsep, sistimatika, maupun kebahasaannya. Dalam kondisi seperti ini, BTP justru merusak mutu pendidikan anak-anak kita.

Oleh karena itu, yang paling penting adalah pemerintah menyebarluaskan silabus bagi setiap siswa. Dengan silabus itulah setiap orangtua/keluarga akan mengembangkan sendiri dari berbagai sumber.

BTP yang ada pun lebih banyak mencetak lembaran kerja siswa (LKS) dengan soal yang diulang-ulang, tapi esensinya sama saja. Akhirnya orangtua membeli BTP ibaratnya membeli LKS-LKS yang diulang-ulang.(***)

0 komentar:

Post a Comment

 

ARSIP

Info Blog

Blog ini sebagai media publikasi pemikiran, eksperimen, dan kajian Tonggo Anthon; cemas akan kehancuran peradaban dunia yang disebabkan oleh realita pendidikan dunia selama (dan saat) ini; untuk dan bersama mereka yang sama cemasnya.
Revolusi Pendidikanku Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template