Monday, July 26, 2010

Efektivitas Unas Dalam Mutu Pendidikan


SAAT ini kita baru pro-kontra soal perlu-tidaknya Ujian Nasional (Unas). Wacana pun terbagi dua! Sebagian masyarakat dan berbagai lembaga kompeten berpendapat yang sama seperti keputusan Mahkamah Agung (MA), bahwa Unas tidak perlu. Sebagiannya setuju dengan Depdiknas, bahwa Unas diperlukan. Semua ini dilihat dari kacamata efektivitas Unas sebagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Bagi yang pro, Unas tetap diperlukan untuk peningkatan mutu pendidikan dengan cara mencapai stadar kelulusan yang memadai, memperkecil kesenjangan mutu lulusan antar-daerah, dan menjadi dasar pijakan pemerintah dalam mengevaluasi proses untuk terus dilakukan perbaikan di masa depan. Hanya sayangnya, sampai saat ini pemerintah belum pernah mengeluarkan pernyataan apakah Unas sudah terbukti meningkatkan mutu pendidikan atau belum.

Sedangkan bagi yang kontra, Unas tidak diperlukan karena dalam kenyataan pemerintah tidak bisa menyama-adilkan sarana dan prasarana serta mutu guru di setiap sekolah (sehingga Unas hanya untuk mempecundangkan para siswa dari sekolah-sekolah gurem), hanya untuk meremehkan proses belajar siswa selama beberapa tahun sebelumnya, dan hanya untuk menumbuh-suburkan sikap stakeholder (siswa, orangtua, dan guru) untuk meremehkan semua mata pelajaran non-Unas. Akibatnya korban selalu berjatuhan di pihak siswa yang dari sekolah gurem, ada lulusan yang tidak layak lulus dan yang tidak layak untuk tidak lulus, dan banyak ditemukan lulusan yang mengalami kepincangan kompetensinya alias lebih mampu di mata pelajaran yang di-Unas-kan ketimbang yang tidak. Sayangnya, kelompok ini pun belum bisa membuktikan apakah mutu pendidikan lebih bagus yang tidak di-Unas-kan daripada yang di-Unas-kan?


Antara Unas dan Usek: Efektivitas

Saya (lahir 1960) adalah generasi yang mengalami dua model, yaitu ujian sekolah (Usek) dan Unas. Sejak zaman Belanda hingga tahun 1973, di Indonesia hanya mengenal Usek. Setiap sekolah memiliki otoritas penuh untuk menyelenggarakan ujian akhir tanpa diskriminasi untuk semua mata pelajaran. Sejak 1974 (dikenal dengan Kurikulum 74) hingga sekarang (KBK dan KTSP) mulai diberlakukan Unas. Jadi, Unas sudah 35 tahun berjalan di negeri ini.

Bila kita masih sepakat bahwa pendidikan sebagai pilar utama untuk mencapai tujuan negara (terutama mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata), maka anatara Usek dan Unas sama saja, yaitu sama-sama masih gagal mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata. Namun bila kita melihat dari tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan menghasilkan insan yang bermoral dan berakhlak mulian serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kita bisa meliohat ada perbedaan yang menonjol amtara hasil Usek dan Unas.

Jumlah warga negara era 70-an hingga sekarang lebih banyak yang sekolah ketimbang era sebelumnya. Jumlah warga negara yang berpendidikan SD hingga universitas lebih banyak sejak 70-an hingga sekarang ketimbang sebelumnya. Ironinya, belum ada lulusan era 70-an hingga sekarang yang melebihi kualitas lulusan di era sebelumnya.

Sepanjang usia bangsa ini, baru ada dua orang Indonesia yang memiliki reputasi akademiknya diakui secara internasional, yaitu almarhum Soedjatmoko dan almarhum Adam Malik. Soedjatmoko adalah seorang ilmuwan sejati dan satu-satunya orang Indonesia yang bisa diterima dalam komunitas Club of Rome; dimana Club of Rome adalah tempat berkumpulnya cendikiawan yang bertaraf internasional. Karir puncak Soedjatmoko di kancah akademik internasional adalah menjadi rektor Universitas PBB di Tokyo. Saking kagumnya cendikiawan dunia pada kebrilianannya, Soedjatmoko dijuluki 'nabi dari Indonesia'.

Sedangkan Adam Malik adalah diplomat tangguh asal Indonesia yang pernah dipercayai dunia untuk memangku jabatan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). dan almarhum Adam Malik. Sebelumnya, Adam Malik berkarya dari wartawan hingga menjadi menteri luar negeri dan wakil presiden RI.

Sementara itu, pendidikan formal kedua tokoh ini kalah dari guru TK di Indonesia saat ini yang disyaratkan minimal diploma. Dalam jenjang pendidikan, Soedjatmoko dan Adam Malik hanya tamatam SD. Ijasah mereka pun kalah dari pejabat publik setingkat bupati dan anggota DPRD saat ini yang minimal tamatan SMA. Apalagi dibanding dosen saat ini yang disyaratkan harus lulusan S2. Ijasah dan gelar Soedjatmoko dan Adam Malik tidak ada apa-apanya dibanding sebagian besar orang Iondonesia saat ini. Bandingkanlah dengan lulusan 70-an hingga sekarang yang hanya bisa jadi 'jago kandang'!

Dari aspek moral dan ketaqwaan kepada Tuhan serta rasa cinta kepada tanah air, jumlah korupsi dan koruptor sekarang jauh lebih dahsyat dari lulusan zaman dulu. Lulusan dulu bisa mengabdi total kepada negara dan rakyat seolah-olah mereka punya gaji (yang besat), sedangkan lulusan sekarang punya penghasilan besar seolah-olah mereka sudah mengabdi kepada rakyat dan negara. Lulusan dulu bisa rela mati demi merah putih dan amanat rakyat, sedangkan lulusan 70-an hingga kini bisa rela mati demi harta dan tahta.

Bila banyak pihak mensinyalir bahwa mutu pendidikan kita semakin hari kian memburuk, maka lulusan di era Unas kalah jauh dibanding para lulusan di era Usek. Untuk itulah, sangat urgen (meski terlambat) Unas harus dikaji kembali.


Antara Unas dan Usek: Pola Perubahan

Setelah ada Unas, paling sedikit ada dua perubahan besar yang tumbuh dalam ethos pendidikan kita, yaitu mentalitas meremehkan proses dan mentalitas meremehkan komprehensivitas pengembangan dimensi manusia. Dua perubahan itulah yang tidak pernah ada dalam era Usek dulu.

Pertama, mentalitas meremehkan proses adalah ditandai dengan indikator pencapaian nilai akhir Unas-lah yang paling menentukan kelulusan siswa, sehingga mengabaikan seluruh proses yang sudah terjadi di hari-hari sebelumnya.

Realita ini memaksa seluruh stakeholder untuk mengumpulkan dan mengorbankan seluruh enerjinya untuk memfokuskan pada persiapan Unas saja. Oleh karena itu, ethos belajar-mengajar (siswa-guru dan orangtua) di hari-hari sebelumnya tidak seserius ketika menjelang Unas.

Karena proses belajar-mengajar di hari-hari sebelumnya tidak dilakukan dengan baik, maka para siswa kelihatan tidak menguasai materi dengan baik. Realita tersebut menggelisahkan pihak sekolah, siswa, dan orangtua. Solusinya adalah sekolah menyelengarakan les tambahan atau bimbingan belajar (bibel) bermunculan di mana-mana, terutama menjelang Unas.

Karena waktunya sangat sempit (sementara materi yang tidak dikuasai siswa terlalu banyak), maka solusi-solusi darurat pun bermunculan. Dimulai dengan mengajarkan trik menyelesaikan soal Unas (dengan terlebih dahulu mengenal ciri dan kelemahan soal Unas). Kalau solusi itu tetap kesulitan (karena harus menguasai trik untuk sekian banyak materi), maka solusi berikutnya adalah bibel (di sekolah maupun di luar) mulai memprediksi soal yang bakal keluar di Unas. Bila trik-trik artivisial-instan itu tetap kesulitan, maka yang terakhir adalah ditempuh dengan jalan pembocoran soal, pembocoran kunci jawaban, joki, membawa kerpekan, maupun handphone (Hp).

Akibatnya ada anak bodoh bisa lulus. Sebaliknya, karena tekanan psikologi dan kesehatan, dan kurang teliti, maka siswa yang sehari-harinya pintar jadi tidak lulus. Hasilnya pun kita rasakan, bahwa para pemegang ijasah di era Unas tidak memiliki kualitas memadai; realita nilainya lulus, tapi realita kompetensinya buruk. Realita tersebut belum disadari (atau pura-pura tidak sadar) masyarakat (kecuali sebagian di sektor swasta) dan negara, maka para pemegang ijasah lebih diberi peran. Akibatnya kinerja (barang dan jasa) hidup kita menjadi sangat dan semakin rendah.


Kedua, mentalitas meremehkan komprehensivitas pengembangan dimensi manusia itu ditandai dengan memposisikan semua mata pelajaran Unas di atas mata pelajaran non-Unas. Betapa pun jumlah mata pelajaran sampai belasan, namun pihak sekolah menyelengarakan les tambahan hanya untuk mata-mata pelajaran yang di-Unas-kan. Mayoritas lembaga bibel yang bertebaran di mana-mana pun hanya menggelar untuk mata pelajaran yang di-Unas-kan. Dan bukan rahasia umum lagi, bahwa guru-guru mata pelajaran non-Unas sudah diinstruksikan agar memberi nilai 'lulus' bagi siswa. Bahkan nilai mata pelajaran non-Unas berfungsi sebagai pendongkrak nilai rata-rata di ijasah, sehingga memburuknya nilai Unas bisa dikompenkan oleh tingginya nilai mata pelajaran non-Unas.

Era Usek tidak pernah mendiskriminasikan dan mendikotomikan setiap mata perlajaran. Waktu itu, nilai rata-rata tidak boleh dibawah 6,0, nilai merah (dibawah 6,0) tidak boleh lebih dari tiga kali, dan tidak boleh ada nilai dibawah 4. Bila tidak memenuhi persyaratan itu, maka tanpa mempedulikan tinggi-rendahnya nilai mata pelajaran apa, otomatis tidak lulus. Akhirnya kami di era Usek belajar Agama sama seriusnya dengan belajar Berhitung/Aldjabar (kini Matematika), belajar Olahraga sama semangatnya dengan belajar Bahasa Indonesia, belajar Prakarya (kini Keterampilan) sama tekunnya dengan belajar Ilmu Hajat-Ilmu Tumbuhan-dan Ilmu Alam (kini IPA).

Permainan semacam itu sudah tercium di masyarakat, termasuk para siswa. Oleh karenanya, para siswa pun memandang remeh mata pelajaran non-Unas. Semua stakeholder pun memahami, bahwa proses belajar-mengajar lebih serius
di mata-mata pelajaran Unas. Akibatnya, tidak semua dimensi manusia diperhatikan, sehingga tujuan untuk mencapai manusia Indonesia yang utuh menjadi terhambat. Kita hanya bisa menghasilkan 'manusia pincang'. Ada yang otaknya pintar, tapi moralnya jelek. Ada yang badannya sehat, tapi mentalnya sakit. Ada yang banyak tahu, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Ada yang banyak omong, tapi tidak banyak berbuat. Ada yang banyak janji, tapi tidak banyak yang ditepati.

Usek sudah terbukti buruk. Unas pun tidak kalah buruknya. Apakah kita harus kembali ke Usek atau lanjutkan Unas? (***)

0 komentar:

Post a Comment

 

ARSIP

Info Blog

Blog ini sebagai media publikasi pemikiran, eksperimen, dan kajian Tonggo Anthon; cemas akan kehancuran peradaban dunia yang disebabkan oleh realita pendidikan dunia selama (dan saat) ini; untuk dan bersama mereka yang sama cemasnya.
Revolusi Pendidikanku Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template