Monday, July 26, 2010

Doktrin (Budi Pekerti) yang Menyesatkan Anak


BANYAK orangtua (terutama orangtua teroris) kaget dan tidak percaya kalau anak-anak mereka, di luar rumah, membunuh banyak orang! Karena yang mereka alami adalah anak-anak mereka ramah, sopan, dan menghormati mereka. Istri saya yang guru pun merasa aneh banyak orangtua muridnya kaget ketika dipanggil untuk ikut menangani kenakalan anaknya yang berkelahi, premanisme, dan minum mabuk. Dia pun kaget ketika tahu bahwa mantan muridnya yang baik dan sopan akahirnya berprofesi sebagai preman. Banyak pihak mengklaim bahwa pendidikan budi pekerti kita masih belum berjalan baik.

Apakah pendidikan budi pekerti tidak diberikan di sekolah, di masyarakat, dan di rumah? Tidak juga! Sekolah, keluarga, dan masyarakat sudah memperhatikan pendidikan budi pekerti. Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Ilmu Pengetahuan Sosial sudah cukup memperhatikan pendidikan budi pekerti. Orangtua di rumah dan masyarakat sudah cukup memperhatikannya! Pertumbuhan rumah ibadah dan aktivitas doa, pengajian, dll sudah cukup padat dilakoni masyarakat dan anak-anak kita. Lantas apanya yang salah?

Budi Pekerti dan Faktor-Faktornya

Budi pekerti berasal dari kata 'budi' dan 'pekerti'. Budi artinya tabiat, akhlak, watak, kebaikan, perbuatan baik (Kamus Bahasa Indonesia Sekolah Dasar/KBISD, Gramedia Pustaka Utama, 2006: 52) atau alat bathin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk (KBBI, 1993: 150). Sedangkan pekerti sama dengan budi (KBISD, 2006: 273; dan KBBI, 1993: 742). Jadi, budi pekerti artinya perangai, sikap, akhlak, watak yang berwujud pikiran, perkataan, dan tindakan manusia berdasarkan olah pikiran (akal sehat) dan perasaan (hati nurani) (KBBI, 1993: 150). Ini berarti budi pekerti adalah etika, sebuah filsafat moral.

Budi pekerti hanya punya batasan fokus (moral), bukan pada masalah lokus (siapa, apa, kapan, dan di mana). Oleh karena itu budi pekerti tidak dibatasi dari dan untuk
siapa, kapan dan di mana, tetapi dari siapa pun, untuk siapa pun, kapan saja, dan di mana saja.

Budi pekerti berbeda dari agama! Agama berbicara tentang baik-buruk yang berefek pada dosa-suci, sedangkan budi pekerti pada wilayah baik-buruk dan benar-salah, sehingga efeknya bisa suci-dosa dan adab-biadab. Pelanggaran agama urusannya dengan Tuhan, tapi pelanggaran budi pekerti urusannya dengan manusia dan atau Tuhan.

Contoh, agama mengajarkan bahwa perbuatan menghilangkan nyawa orang adalah dosa. Sedangkan budi pekerti mengajarkan bahwa mengemudi kendaraan di Indonesia di jalur kanan itu salah (dan terkena hukuman di pengadilan), kemudian mengakibatkan tabrakan yang merugikan pihak lain, maka dosa (hukumannya masuk penjara dan neraka). Sepanjang melanggar peraturan lalu lintas tapi tidak berefek pada kecelakaan, maka itu hanya 'salah', belum 'dosa'.

Jadi, budi pekerti adalah permainan rasio dan rasa; bukan hanya rasio dan bukan hanya rasa. Bila hanya mengandalkan rasa atau rasio saja, maka pasti fatal dalam penerapannya.

Lantas bagaimana memahami anak yang sopan dan hormat pada guru dan orangtua, taat beribadah, namun menjadi pembunuh, pemerkosa, penipu, pelaku KKN, dll? Apa yang bisa dijelaskan dari pendidikan budi pekerti bila menyaksikan berita di media mssa bahwa banyak anak usia sekolah membunuh temannya?

Patuh dan Hormat Kepada 'Siapa' atau 'Apa'?

Ada beberapa tradisi-doktrin yang salah yang dilakukan oleh para orangtua, masyarakat, dan guru/sekolah kita selama ini. Beberapa kesalahan itu antara lainnya ajaran 'kepatuhan' dan 'penghormatan'.

1. Kepatuhan

Selama ini kita mengajarkan agar anak-anak kita harus patuh kepada orangtua dan guru. Orangtua yang dimaksudkan adalah orang yang melahirkan anak itu dan guru adalah orang yang mengajarkan anak itu di sekolah. Kalaupun mau diperluas teriminologinya, kelompok yang termasuk dalam kategori 'orangtua' adalah mereka yang lebih tua dari usia anak itu.

Ajaran ke-patuh-an semacam ini membuat anak-anak memahami bahwa terhadap orang yang bukan melahirkan mereka, yang tidak mengajarkan mereka, dan atau yang usianya sama atau lebih muda dari mereka, maka tidak perlu di-patuh-i. Meskipun ada orang yang memiliki cara tutur, cara pikir, dan cara tindak yang baik dan benar, tapi karena mereka bukan tergolong 'orangtua' dan 'guru' anak itu, maka anak itu tidak perlu me-mematuh-inya.

Ajaran ke-patuh-an semacam ini membuat lokus budi pekerti begitu sempit, terutama bukan lagi 'dari' dan 'untuk' siapa saja, melainkan dari 'anak' kepada 'orangtua dan guru'. Padahalnya nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan seorang anak bisa berasal dari siapa saja yang mereka jumpai (baik langsung maupun tidak) dalam hidupnya. Kenapa cara pandang orangtua dan guru menjadi begitu apriori seperti ini?

Selain itu, ke-patuh-an semacam itu membuat malangnya nasib anak yang memiliki orangtua dan guru yang kualitas SDM-nya rendah, baik pikiran maupun peri-lakunya. Banyak kejahatan pun dilakukan oleh orangtua dan guru. Kebodohan pun melanda orangtua dan guru. Ini berarti anak-anak yang lahir dan hidup dari orangtua dan guru seperti itu akan kehilangan banyak nilai-nilai bagus untuk kehidupannya.

Lebih dari itu, pola pikir seperti itu membuat orangtua dan guru mengajarkan tentang kesombongan dan menolak kodrat bahwa manusia adalah makluk yang tidak sempurna. Padahal mereka pun sering mengajarkan kepada anak-anak bahwa manusia adalah makluk tidak sempurna dan kesempurnaan hanya milik Tuhan. Sebab kalau ajaran itu benar, mestinya orangtua dan guru pun makluk tidak sempurna, mesti ada kelemahannya. Lalu kenapa harus 'patuh' kepada orangtua dan guru yang sama-sama sebagai makluk tidak sepurna seperti juga anak-anak?

Jika demikian, ke-patuh-an adalah relatif! Anak-anak pun (kadang-kadang) ada sisi lebihnya; misalnya rajin belajar setiap malam! Kenapa orangtua dan guru pun tidak rajin belajar setiap malam seperti halnya anak-anak? Anak-anak kalau berkelahi dengan temannya di pagi hari, nanti sore sudah damai lagi; sedangkan orangtua dan guru bermusuhan bisa bertahun-tahun (bahkan ada yang dibawa mati)? Kenapa orangtua dan guru pun tidak patuh kepada anak-anak? Bukankah ini berarti orangtua dan guru melestarikan dan melaksanakan sikap sombong dan percaya bahwa diri mereka pun mahasempurna seperti Tuhan?

Jadi, pendidikan ke-patuh-an yang benar adalah bukan dari anak kepada orangtua dan guru, tapi bisa dari orangtua dan guru kepada anak, dan dari siapa pun kepada siapa pun. Oleh karena itu, ke-patuh-an hanya kepada yang 'benar'! Rumusnya hanya satu: patuh-ilah kepada ke-benar-an! Selama patuh kepada siapa, pasti penerapannya salah.

2. Penghormatan

Selama ini pun kita mengajarkan agar anak-anak harus meng-hormat-i orangtua dan guru. Ajaran semacam ini membuat anak-anak kita tidak mau meng-hormat-i orang yang tidak melahirkan dan mengajarkan mereka di sekolah. Anak-anak akan bersikap biadab kepada orang lain (selain orangtua dan guru).

Ajaran semacam itu pun akan mengakibatkan adanya pandangan bahwa orangtua dan guru tidak layak menghormati anak-anak, karena anak-anak bukan yang melahirkan orangtua dan bukan pendidik guru. Ini pun mempersempit (bahkan menyesatkan) makna budi pekerti. Ini adalah wujud penjajahan (koloni) yang sengaja dihidup-lestarikan oleh para orangtua dan guru. Bila Dianna Hine (dalam Bimbingan Lenghkap Membentuk EQ Anak Sejak Dini, 2007) mengatakan bahwa perlakuan anak Anda di masa depan hanya meniru perlakuan Anda yang mereka pernah saksikan, dengarkan, dan alami, maka sebaiknya hentikan ajaran 'anak-anak wajib hormati orangtua dan guru' saja. Sebab perilaku yang tidak menghhormati orang lain (selain kepada orangtua dan guru) pun akan menjadi bawaan anak-anak dalam hidupnya. Pepatah 'buah jatuh tidak jauh dari pohon' dapat dibenarkan dari pendapat Dianna Hine.

Anak-anak baru tidak membunuh, tidak menipu, tidak merampok, tidak memperkosa, dan tidak melakukan seks bebas kalau terhadap orangtua dan gurunya. Ada anak yang rela memperkosa wanita lain (asalkan bukan memperkosa ibunya), rela menghamili dan meninggalkan pacarnya (asalkan tidak menghamili ibunya dan gurunya), dll.

Doktrin ke-patuh-an dan peng-hormat-an kepada individu (termasuk kepada orangtua dan guru) pun tidak hanya menghasilkan anak-anak yang melakukan kejahatan terhadap orang lain (selain orangtua dan gurunya), tapi juga anak-anak yang rela mencelakakan dirinya sendiri atas dasar perintah orangtua dan gurunya.

Harian Kompas (26/2/2006: 4) menurunkan kisah Lara, siswi Kelas II SMEA di Jakarta, yang melakoni sebagai pelacur sejak Kelas II SMP. Sebagai germonya adalah ibu kandung Lara sendiri (Nyonya Sri). Lara mengaku, bahwa dirinya tidak berani menolak permintaan ibunya (agar Lara jadi pelacur) lantaran dia tidak ingin menjadi anak durhaka (dosa) dengan tidak 'patuh' dan 'hormat' kepada ibunya.

Tahun 1990 saya pernah berjumpa dengan seorang ibu dan anak gadisnya (kurang-lebih berumur 12 tahun) di sebuah hotel di kota Malang. Ibu itu tengah menunggu pria hidung belang yang mau "membeli" keperawanan anak gadisnya. Dengan tanpa ekspresi menyesal, ibu itu mengisahkan bahwa semua anak perempuannya yang sudah besar dan tua pun dulunya dia "jual" keperawanan mereka. Selain karena desakan ekonomi, dia pun beralasan: "Kalaupun saya tidak 'menjual', nanti juga ada orang lain yang akan 'menjual' mereka. Daripada untuk orang lain, lebih baik untuk saya sendiri!"

Oleh karena itu, pendidikan ke-patuh-an dan peng-hormat-an yang benar adalah patuh-ilah dan hormat-ilah semua orang di muka bumi ini! Bukan hanya meng-hormat-i orangtua dan guru! Pendidikan budi pekerti semacam ini secara otomatis orangtua dan guru pun sudah termasuk di dalamnya.

Dalam pola pendidikan budi pekerti seperti ini, akan memperluas cakrawalanya menjadi 'patuhi kebenaran' dan 'hormati semua makluk ciptaan Tuhan!' Hal ini karena semua makluk adalah gambaran Allah dan memiliki kegunaan untuk pemekaran makna hidup semua manusia. Sekaligus pula, tidak 'patuh pada kebenaran' dan 'tidak hormat kepada semua makluk' akan mengancam eksistensi kebahagiaan manusia yang akan berefek pada dosa-suci dan salah-benarnya anak.

0 komentar:

Post a Comment

 

ARSIP

Info Blog

Blog ini sebagai media publikasi pemikiran, eksperimen, dan kajian Tonggo Anthon; cemas akan kehancuran peradaban dunia yang disebabkan oleh realita pendidikan dunia selama (dan saat) ini; untuk dan bersama mereka yang sama cemasnya.
Revolusi Pendidikanku Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template