Sunday, July 18, 2010

Reformasi Perpustakaan di Indonesia


Artikel Opini:

Memperingati Hari Kunjungan Perpustakaan (14 September):

MASALAH minat baca (apa lagi budaya baca) di negerti ini masih teramat rendah. Oleh karena itu, berbagai pihak terus berperan untuk meningkatkan minat baca. Salah satunya adalah perpustakaan.

Selain perpustakaan sekolah, universitas, dan berbagai lembaga studi, sampai saat ini jumlah Taman Baca Masyarakat (TBM) di Indonesia tidak kurang dari 2.488 buah ; dengan tiga propinsi yang memiliki TBM terbanyak ada di Jawa Barat (448 buah), Jawa Timur (402 buah), dan Jawa Tengah (139 buah). Sedangkan tiga propinsi dengan TBM terendah adalah Irian Jaya Barat (0 buah), Kalimantan Tengah (2 buah), dan Riau (3 buah). (Direktori TBM dan Kursus Direktorat Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, 2006).

Ketika kini Depdiknas memekarkan Dirjen PLS menjadi Dijen Pendidikan Non Formal (PNF) dan Dirjen Pendidikan Masyarakat (Dirjen Penmas), maka di masa depan akan semakin banyak perpustakaan dan TBM yang bertumbuh. Apa lagi ada kepala daerah tertentu yang menaruh respek khusus pada pengembangan minat baca masyarakat, misalnya gubernur DIY sampai membuat keputusan khusus agar perpustakaan bertumbuh hingga di tingkat desa/RW, maka jumlah TBM dan perpustakaan akan semakin banyak.

Dalam berbagai forum, para pustakawan mengeluh yang sama: perpustakaan sepi pengunjung. Banyak buku berdebu dan dihuni serangga. Banyak pustakawan ngantuk! Banyak IT perpustakaan digunakan untuk game. Belakangan saya mendengar dari rekan-rekan pustakawan bahwa beberapa TBM di Yogyakarta berubah kegiatan (dari baca) menjadi tari, ukir, ketoprak, dll. Mengapa perpustakaan masih sepi pengunjung?

Hal yang Belum Dijamah

Sebelum mencebur diri menjadi pembaca, setiap orang harus melalui tahap-tahap berikut: (1) Mau membaca, dan (2) Mampu membaca. Kemauan untuk membaca itu ada kalau orang itu sadar akan kebutuhan bahwa membaca itu penting dan di mana letak pentingnya. Sedangkan kebutuhan itu ada kalau dia sadar akan kesenjangan antara yang ia cita-citakan dengan yang sedang ia hadapi saat ini serta tantangan (luar) yang menghalanginya dan kelemahan (diri) yang ia miliki.

Sedangkan kemampuan membaca berhubungan dengan keterampilan berbahasa; yang dimulai dari mengenal ejaan, tanda baca, kata, kalimat, paragraf berikut arti. Kemampuan membaca itulah yang membuat seorang pembaca bisa memahami isi bacaan. Selama orang tidak bisa memahami isi bacaan dengan baik, maka dia tidak akan bisa menemukan nikmatnya membaca dan lambat-laun dia akan mundur lagi dari membaca.

Sampai saat ini cita-cita negara miskin (terutama Indonesia) adalah memiliki kekayaan dan kekuasaan. Sementara realitanya (meskipun ada pembaca yang sukses), banyak yang tidak membaca pun mendapat kekayaan dan kekuasaan, yaitu lewat KKN dan kejahatan. Inilah yang membingungkan masyarakat tentang di mana pentingnya membaca.

Sampai saat ini banyak orang merasa penting dengan sekolah. Namun tujuan sekolah masih sebatas untuk nilai/rapor/ijasah/lulus. Jadi, membaca untuk lulus! Makanya membaca hanya buku teks pelajaran, hanya waktu ujian, dan membuat tugas. Buktinya, banyak mantan siswa dan mahasiswa justru akhirnya bukan pembaca. Jadi, membaca bukan menjadi budaya, bukan menjadi gaya hidup. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat kita enggan berkunjung ke perpustakaan; karena mereka tiudak melihat pentingnya membaca.

Kita tidak menutup mata terhadap sekian banyak orang yang pernah berkunjung ke perpustakaan. Namun tidak semua orang yang pernah ke perpustakaan akhirnya menjadi pembaca. Banyak orang yang pernah mencoba membaca pada akhirnya mundur untuk tidak membaca lagi. Sementara sebagian lainnya memilih membaca sebagai gaya hidup, sebagai budaya dirinya.

Salah satu faktor yang membuat orang bertahan menjadi pembaca apabila orang itu bisa menemukan kenikmatan dalam membaca. Selama ia tidak nikmat, maka dia akan kembali lagi untuk tidak membaca. Sementara letak nikmatnya bacaan terletak pada isinya. Jadi, mereka yang sudah mencoba membaca tapi akhirnya tidak membaca, berarti mereka tidak bisa memahami isi bacaannya.

Kesulitan memahami isi bacaan dipengaruhi tiga hal: (1) Kemampuan berbahasa seorang pembaca yang rendah, (2) Bahasa tulis dalam bacaan yang buruk, dan (3) Sistimatika tulisannya yang buruk. Faktor (1) berasal dari internal masyarakat, sedangkan faktor (2) dan (3) dipengaruhi oleh mutu penerbitan (dan pengarang) yang buruk.

Sampai saat ini disinyalir bahwa jumlah orang Indonesia yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar cukup besar. Mutu pendidikan kita (terutama setelah ada kebijakan wajib belajar 9 tahun) cukup rendah yang akhirnya seperti kegiatan ijasahnisasi. Kondisi seperti ini menjadikan masyarakat tidak memiliki kemampuan membaca dan memahami isi bacaan dengan baik.

Dalam keadaan demikian, ada masyarakat yang tetap memilih bacaan dengan bahasa dan sistimatika yang buruk, dan ada sebagian yang mundur dari membaca. Kedua kelompok inilah yang akhirnya menambah buruknya grafik membaca dan SDM bangsa ini.

Ketika masyarakat tidak menemukan pentingnya membaca dan tidak mampu memahami isi bacaan dengan baik, maka masyarakat tidak akan memiliki kemauan dan kemampuan membaca. Sementara itu, perpustakaan selalu dan hanya dengan dua peran: menyediakan bacaan dan ruang baca. Ibaratnya perpustakaan dan masyarakat asyik sendiri-sendiri! Di tengah kualitas keluarga, sekolah, dan masyarakat yang buruk maka belum bisa kita harapkan terciptanya masyarakat yang mau dan mampu membaca. Inilah faktor-faktor yang membuat perpustakaan selalu sepi pengunjung.

Reformasi Perpustakaan

Mengatasi permasalahan minat baca di tengah masyarakat yang tidak memiliki kemauan dan kemampuan membaca, maka paradigma perpustakaan sebagai pencipta akses bacaan bagi masyarakat harus dirubah menjadi perpustakaan sebagai pencetak insan kutu buku. Paradigma seperti ini membuat kegiatan perpustakaan tidak lagi sekadar penyedia bacaan dan ruang baca, tetapi sekaligus menjadi mengkampanyekan dan membangun paradigma membaca, baik posisi membaca dalam hidup ini maupun melalukan proses pembelajaran membaca bagi masyarakat. Konsekuensinya adalah perpustakaan harus memiliki tiga kegiatan pokok, yaitu membangun kemauan, membangun kemampuan membaca, dan menyediakan bacaan.

Jika kita sudah mampu membangun kemauan dan kemampuan membaca masyarakat, maka saat itulah perpustakaan akan kebanjiran pembaca. Bagi yang ekonomi baik, toko buku kita akan kebanjiran pembeli buku. Pelanggan pers kita akan membludak.

Tiga peran perpustakaan inilah yang saya dan kawan-kawan dari Pustaka Pendidikan Untuk Masyarakat (PuPUM) lakukan di Dusun Petir, Srimartani, Piyungan, Bantul. Dalam satu tahun ini membuktikan: (1) Rekor membaca 42 buku/minggu/pembaca, (2) Pembantu rumah tangga (PRT) aktif membaca, (3) Membaca sejak balita, (4) Menghasilkan tiga pustakawan dalam satu dusun, (5) Menghasilkan keluarga yang mengalokasikan dana untuk membeli buku, (6) Menghasilkan keluarga yang melakukan kegiatan wisata baca, dan (7) Menghasilkan 9 'Kutu Buku'. (Refleksi Dari Dusun Petir: Pro-PM: 3 Cara Mudah Menghasilkan Generasi 'Kutu Buku', PuPUM, 2007).

Salah satu missi Depdiknas hingga 2009 adalah mendorong terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat melalui peningkatan budaya baca serta penyediaan bahan-bahan bacaan yang berguna baik bagi aksarawan baru maupun anggota masyarakat lainnya agar memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang relevan bagi peningkatan produktivitas mereka (Ace Suryadi, Ph.D, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, 2007). Frasa kunci di sini adalah peningkatan budaya baca serta penyediaan bahan-bahan bacaan! Salah satu program untuk menyukseskan missi ini adalah peningkatan budaya baca dan pembinaan perpustakaan.

Sedangkan Direktur Direktorat Pendidikan Masyarakat, Sudjarwo, dalam Pokok Kebijakan Direktorat Pendidikan Masyarakat, mengatakan bahwa pihaknya akan membangun TBM di setiap desa untuk mewujudkan "Perpustakaan Masyarakat"(Depdiknas, Februari 2007: h. 28 ). Direncanakan, dalam tahun 2007 saja, Depdiknas akan membangun lagi sekitar 3.321 TBM di setiap desa, terutama di daerah bebas buta aksara (Sudjarwo, Ibid., hal. 30).

Budaya baca tidak (hanya) dengan membangun perpustakaan yang menyediakan bacaan. Budaya baca tidak hanya dengan membangun fisik perpustakaan, tapi isi dan kegiatannya. Menyediakan bacaan saja sama dengan mengkianati missi pembudayaan membaca. Menyediakan bacaan saja sama dengan menyederhanakan masalah budaya baca.

Jika kita tetap memaksakan kehendak dengan membangun perpustakaan yang hanya menyediakan bacaan dan ruang baca, maka perpustakaan adalah salah satu kegiatan yang sia-sia. Artinya manfaatnya tidak sebesar pengorbanan kita. Kelihatannya kita sibuk membangun, tapi signifikansinya rendah. Fungsi perpustakaan yang hanya menyediakan bacaan dan ruang baca bukan menarik dan mendorong masyarakat ke bacaan, tapi hanya mampu mempertahankan dan melanjutkan masyarakat yang sudah memiliki kemauan dan kemampuan membaca.

Selamat Hari Kumnjungan Perpustakaan, 14 September!

0 komentar:

Post a Comment

 

ARSIP

Info Blog

Blog ini sebagai media publikasi pemikiran, eksperimen, dan kajian Tonggo Anthon; cemas akan kehancuran peradaban dunia yang disebabkan oleh realita pendidikan dunia selama (dan saat) ini; untuk dan bersama mereka yang sama cemasnya.
Revolusi Pendidikanku Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template