Monday, July 19, 2010

Bahasa Jawa yang Dicibir


BANYAK pihak yang gelisah akan eksistensi bahasa Jawa! Guru-guru kecewa melihat para siswa dewasa ini yang cenderung menempatkan Bahasa Jawa jauh di bawah Bahasa Inggris, bahkan seluruh bahasa asing. Para pengamat budaya Jawa mulai gerah melihat penggunaan bahasa Jawa yang mulai semakin langka dan bahkan semakin semrawut dan dijadikan selipan-agaya bahasa diantara penggunaan utama bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa asing lainnya. Masyarakat pun semakin mengeluh bahwa penggunaan cara berbahasa Jawa generasi muda semakin kehilangan unggah-ungguh-nya di mata kaum tua.

Bahasa Jawa dimasukkan sebagai muatan lokal (Mulok) sejak SD hingga SMU/K pun belumlah cukup! Pemerintah daerah (Pemda) di beberapa daerah, beberapa tahun lalu dimulai dari Surabaya dan kini diikuti Pemda Bantul, mulai mewajibkan para siswa untuk menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi harian, walau sebatas hari-hari tertentu.

Betapapun Surabaya sudah lebih dahulu melaksanakan regulasi tersebut, namun sampai kini Bahasa Jawa belum juga menjadi ciri khas masyarakat Surabaya. Apakah Bantul akan menuai kesuksesan?

Bahasa Jawa vs Ideologi Global

Pada suatu hari di semester dua tahun ajaran 2008-2009, saya bertanya pada putri saya yang kala itu duduk di Kelas 5 SD (kini Kelas 6 SD); tentang kenapa semakin hari dia semakin tidak tertarik untuk belajar bahasa Jawa. Pertanyaan ini saya patut ajukan karena sejak Kelas 1 hingga Kelas 4 SD dia tergolong paling bagus dalam bahasa Jawa di kelasnya. Semakin hari kian mengendur semangatnya untuk belajar bahasa Jawa.
Di luar dugaan saya, dia menjawab bahwa semakin dia mengetahui bahasa Jawa maka dia semakin merasa diremehkan, disepelekan, dihujat, dan direndahkan. Alasannya, karena kosa kata dan kalimat dalam bahasa Jawa dibagi dalam klasifikasi ngoko, kromo, dan kromo inggil. Semakin rendah status sosial dan usia seseorang, maka semakin rendahlah pula bahasa yang diucapkan kepadanya. Sebaliknya, semakin tinggi status sosial dan usia seseorang, maka semakin tinggi pula bahasa yang digunakan kepadanya. Contoh, kata 'makan' untuk diucapkan kepada kaum jelata, pembantu, orang miskin, orang rendahan, dan anak kecil boleh menerima kata mangan atau madang. Sedangkan mereka yang lebih tua, berjabatan tinggi, dan ningrat wajib menerima kata dhahar.

Menurutnya, penggunaan bahasa yang berbeda itulah menunjukkan bahwa dalam alam pikiran, pandangan, dan hidup Jawa selalu mendikotomikan manusia dari aspek status sosial, pangkat dan harta. Martabat manusia di mata masyarakat Jawa selalu berbeda bukan menurut moralnya, melainkan menurut pangkat dan usianya. Di mata masyarakat Jawa, sesama manusia tidak layak untuk saling menghormati, melainkan manusia muda wajib menghormati manusia tua, sedangkan manusia tua tidak perlu menghormati manusia muda. Manusia berpangkat wajib dihormati oleh manusia tidak berpangkat, sebaliknya manusia berpangkat tidak wajib menghormati manusia tidak berpangkat.

Saya dapat memahami perasaan dan jalan pikiran dia dengan cara tidak memaksakan agar dia kembali menekuni bahasa Jawa. Saya bersikap demikian karena saya dapat menerima posisi dia yang semenjak kecil sudah akrab dengan salah satu trend atau ideologi global, yaitu demokratisasi dan hak asasi manusia (HAM). Sejak kecil dia sudah menerima dan melaksanakan demokratisasi dan HAM. Akibatnya, segala yang bertentangan dengan demokrasi dan HAM pasti ditolaknya.

Konstitusi kita sudah merespon demokrasi dan HAM. Oleh karenanya, tidak salah bagi anak-anak kita untuk mencibiri bahasa Jawa yang cenderung melanggengkan feodalisme dan menghujat martabat manusia muda dan manusia tidak berpangkat. Untuk itu, mereka lebih suka bahasa Inggris (dan bahasa asing internasional) yang lebih humanistik.

Cara Melanggengkan Bahasa Jawa
Bagaimana cara kita melanggengkan bahasa Jawa bergantung pada posisi bahasa Jawa dalam kehidupan manusia. Manusia hidup untuk mencari kebahagiaan. Caranya adalah dengan memenuhi kebutuhannya.
Ada dua kriteria bagi manusia untuk menggunakan sesuatu (termasuk Bahasa Jawa), yaitu sesuatu itu dapat memecahkan masalah dan sesuatu itu tidak merusak nilai yang sudah taken for granted. Ketika dunia sudah mengglobal dan bahasa Indonesia sudah diterima sebagai bahasa persatuan, maka posisi bahasa Jawa semakin sulit dihiraukan. Sebab, dalam pengembangan diri (lewat iptek) dan kegiatan ekonomi, bahasa Indonesia, Inggris, Jepang, China, Korea, Jerman, Perancis, Belanda, Italia, Arab, dan Latin merupakan bahasa pengantar dalam setiap kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Sudah tidak ada produk global dan berbagai teori yang tersedia dalam bahasa Jawa. Hal ini dipengaruhi oleh posisi orang Jawa bukanlah produsen global. Oleh karenanya, sang produsen bebas menggunakan bahasa yang akrab dengannya.

Selama bahasa Jawa tidak memiliki kontekstual dengan kebutuhan hidup masyarakat, apa lagi cenderung menolak demokrasi dan HAM, maka masyarakat tidak merasa didesak untuk tahu dan menggunakan bahasa Jawa. Akhirnya posisi bahasa Jawa sangat lemah, yaitu hanya sebagai kenangan akan masa lalu kehidupan di Jawa. Posisi ini sangat lemah di mata masyarakat. Oleh karena itu, peraturan Pemda maupun sekolah yang mewajibkan masyarakat (pegawai dan siswa) berbahasa Jawa di hari-hari tertentu tidak akan sukses dalam menyelamatkan bahasa Jawa. Sebab kebijakan itu hanya memobilisasi masyarakat untuk menggunakan bahasa Jawa tanpa sodoran manfaat bagi masyarakat. Pada akhirnya masyarakat tidak akan peduli pada hal-hal yang tidak berguna.

Ada dua tindakan strategis yang bisa dgunakan. Pertama, Setiap produk yang dihasilkan di Jawa wajib menggunakan bahasa Jawa. Misalnya, Jamu Air Mancur wajib menggunakan bahasa Jawa dalam melakukan komunikasi produknya dengan masyarakat, khususnya yang tertulis dalam bungkusannya.
Kedua, Segeralah deklarasi bahasa Jawa (misalnya melalui setiap even Kongres Bahasa Jawa) yang menghapus dikotomi kromo, ngoko, dan kromo inggil, melainkan hanya satu bahasa Jawa yang resmi, misalnya ngoko saja, kromo saja, atau kromo inggel saja. Hasil deklarasi ini harus segera direspon oleh Depdiknas dalam pembuatan krikulum muatan lokal agar tidak lagi menggunakan kosakata yang diskriminatif dan dehumanisasi masyarakat pemakainya.


0 komentar:

Post a Comment

 

ARSIP

Info Blog

Blog ini sebagai media publikasi pemikiran, eksperimen, dan kajian Tonggo Anthon; cemas akan kehancuran peradaban dunia yang disebabkan oleh realita pendidikan dunia selama (dan saat) ini; untuk dan bersama mereka yang sama cemasnya.
Revolusi Pendidikanku Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template