Monday, July 26, 2010

Efektivitas Unas Dalam Mutu Pendidikan


SAAT ini kita baru pro-kontra soal perlu-tidaknya Ujian Nasional (Unas). Wacana pun terbagi dua! Sebagian masyarakat dan berbagai lembaga kompeten berpendapat yang sama seperti keputusan Mahkamah Agung (MA), bahwa Unas tidak perlu. Sebagiannya setuju dengan Depdiknas, bahwa Unas diperlukan. Semua ini dilihat dari kacamata efektivitas Unas sebagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Bagi yang pro, Unas tetap diperlukan untuk peningkatan mutu pendidikan dengan cara mencapai stadar kelulusan yang memadai, memperkecil kesenjangan mutu lulusan antar-daerah, dan menjadi dasar pijakan pemerintah dalam mengevaluasi proses untuk terus dilakukan perbaikan di masa depan. Hanya sayangnya, sampai saat ini pemerintah belum pernah mengeluarkan pernyataan apakah Unas sudah terbukti meningkatkan mutu pendidikan atau belum.

Sedangkan bagi yang kontra, Unas tidak diperlukan karena dalam kenyataan pemerintah tidak bisa menyama-adilkan sarana dan prasarana serta mutu guru di setiap sekolah (sehingga Unas hanya untuk mempecundangkan para siswa dari sekolah-sekolah gurem), hanya untuk meremehkan proses belajar siswa selama beberapa tahun sebelumnya, dan hanya untuk menumbuh-suburkan sikap stakeholder (siswa, orangtua, dan guru) untuk meremehkan semua mata pelajaran non-Unas. Akibatnya korban selalu berjatuhan di pihak siswa yang dari sekolah gurem, ada lulusan yang tidak layak lulus dan yang tidak layak untuk tidak lulus, dan banyak ditemukan lulusan yang mengalami kepincangan kompetensinya alias lebih mampu di mata pelajaran yang di-Unas-kan ketimbang yang tidak. Sayangnya, kelompok ini pun belum bisa membuktikan apakah mutu pendidikan lebih bagus yang tidak di-Unas-kan daripada yang di-Unas-kan?


Antara Unas dan Usek: Efektivitas

Saya (lahir 1960) adalah generasi yang mengalami dua model, yaitu ujian sekolah (Usek) dan Unas. Sejak zaman Belanda hingga tahun 1973, di Indonesia hanya mengenal Usek. Setiap sekolah memiliki otoritas penuh untuk menyelenggarakan ujian akhir tanpa diskriminasi untuk semua mata pelajaran. Sejak 1974 (dikenal dengan Kurikulum 74) hingga sekarang (KBK dan KTSP) mulai diberlakukan Unas. Jadi, Unas sudah 35 tahun berjalan di negeri ini.

Bila kita masih sepakat bahwa pendidikan sebagai pilar utama untuk mencapai tujuan negara (terutama mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata), maka anatara Usek dan Unas sama saja, yaitu sama-sama masih gagal mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata. Namun bila kita melihat dari tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan menghasilkan insan yang bermoral dan berakhlak mulian serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kita bisa meliohat ada perbedaan yang menonjol amtara hasil Usek dan Unas.

Jumlah warga negara era 70-an hingga sekarang lebih banyak yang sekolah ketimbang era sebelumnya. Jumlah warga negara yang berpendidikan SD hingga universitas lebih banyak sejak 70-an hingga sekarang ketimbang sebelumnya. Ironinya, belum ada lulusan era 70-an hingga sekarang yang melebihi kualitas lulusan di era sebelumnya.

Sepanjang usia bangsa ini, baru ada dua orang Indonesia yang memiliki reputasi akademiknya diakui secara internasional, yaitu almarhum Soedjatmoko dan almarhum Adam Malik. Soedjatmoko adalah seorang ilmuwan sejati dan satu-satunya orang Indonesia yang bisa diterima dalam komunitas Club of Rome; dimana Club of Rome adalah tempat berkumpulnya cendikiawan yang bertaraf internasional. Karir puncak Soedjatmoko di kancah akademik internasional adalah menjadi rektor Universitas PBB di Tokyo. Saking kagumnya cendikiawan dunia pada kebrilianannya, Soedjatmoko dijuluki 'nabi dari Indonesia'.

Sedangkan Adam Malik adalah diplomat tangguh asal Indonesia yang pernah dipercayai dunia untuk memangku jabatan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). dan almarhum Adam Malik. Sebelumnya, Adam Malik berkarya dari wartawan hingga menjadi menteri luar negeri dan wakil presiden RI.

Sementara itu, pendidikan formal kedua tokoh ini kalah dari guru TK di Indonesia saat ini yang disyaratkan minimal diploma. Dalam jenjang pendidikan, Soedjatmoko dan Adam Malik hanya tamatam SD. Ijasah mereka pun kalah dari pejabat publik setingkat bupati dan anggota DPRD saat ini yang minimal tamatan SMA. Apalagi dibanding dosen saat ini yang disyaratkan harus lulusan S2. Ijasah dan gelar Soedjatmoko dan Adam Malik tidak ada apa-apanya dibanding sebagian besar orang Iondonesia saat ini. Bandingkanlah dengan lulusan 70-an hingga sekarang yang hanya bisa jadi 'jago kandang'!

Dari aspek moral dan ketaqwaan kepada Tuhan serta rasa cinta kepada tanah air, jumlah korupsi dan koruptor sekarang jauh lebih dahsyat dari lulusan zaman dulu. Lulusan dulu bisa mengabdi total kepada negara dan rakyat seolah-olah mereka punya gaji (yang besat), sedangkan lulusan sekarang punya penghasilan besar seolah-olah mereka sudah mengabdi kepada rakyat dan negara. Lulusan dulu bisa rela mati demi merah putih dan amanat rakyat, sedangkan lulusan 70-an hingga kini bisa rela mati demi harta dan tahta.

Bila banyak pihak mensinyalir bahwa mutu pendidikan kita semakin hari kian memburuk, maka lulusan di era Unas kalah jauh dibanding para lulusan di era Usek. Untuk itulah, sangat urgen (meski terlambat) Unas harus dikaji kembali.


Antara Unas dan Usek: Pola Perubahan

Setelah ada Unas, paling sedikit ada dua perubahan besar yang tumbuh dalam ethos pendidikan kita, yaitu mentalitas meremehkan proses dan mentalitas meremehkan komprehensivitas pengembangan dimensi manusia. Dua perubahan itulah yang tidak pernah ada dalam era Usek dulu.

Pertama, mentalitas meremehkan proses adalah ditandai dengan indikator pencapaian nilai akhir Unas-lah yang paling menentukan kelulusan siswa, sehingga mengabaikan seluruh proses yang sudah terjadi di hari-hari sebelumnya.

Realita ini memaksa seluruh stakeholder untuk mengumpulkan dan mengorbankan seluruh enerjinya untuk memfokuskan pada persiapan Unas saja. Oleh karena itu, ethos belajar-mengajar (siswa-guru dan orangtua) di hari-hari sebelumnya tidak seserius ketika menjelang Unas.

Karena proses belajar-mengajar di hari-hari sebelumnya tidak dilakukan dengan baik, maka para siswa kelihatan tidak menguasai materi dengan baik. Realita tersebut menggelisahkan pihak sekolah, siswa, dan orangtua. Solusinya adalah sekolah menyelengarakan les tambahan atau bimbingan belajar (bibel) bermunculan di mana-mana, terutama menjelang Unas.

Karena waktunya sangat sempit (sementara materi yang tidak dikuasai siswa terlalu banyak), maka solusi-solusi darurat pun bermunculan. Dimulai dengan mengajarkan trik menyelesaikan soal Unas (dengan terlebih dahulu mengenal ciri dan kelemahan soal Unas). Kalau solusi itu tetap kesulitan (karena harus menguasai trik untuk sekian banyak materi), maka solusi berikutnya adalah bibel (di sekolah maupun di luar) mulai memprediksi soal yang bakal keluar di Unas. Bila trik-trik artivisial-instan itu tetap kesulitan, maka yang terakhir adalah ditempuh dengan jalan pembocoran soal, pembocoran kunci jawaban, joki, membawa kerpekan, maupun handphone (Hp).

Akibatnya ada anak bodoh bisa lulus. Sebaliknya, karena tekanan psikologi dan kesehatan, dan kurang teliti, maka siswa yang sehari-harinya pintar jadi tidak lulus. Hasilnya pun kita rasakan, bahwa para pemegang ijasah di era Unas tidak memiliki kualitas memadai; realita nilainya lulus, tapi realita kompetensinya buruk. Realita tersebut belum disadari (atau pura-pura tidak sadar) masyarakat (kecuali sebagian di sektor swasta) dan negara, maka para pemegang ijasah lebih diberi peran. Akibatnya kinerja (barang dan jasa) hidup kita menjadi sangat dan semakin rendah.


Kedua, mentalitas meremehkan komprehensivitas pengembangan dimensi manusia itu ditandai dengan memposisikan semua mata pelajaran Unas di atas mata pelajaran non-Unas. Betapa pun jumlah mata pelajaran sampai belasan, namun pihak sekolah menyelengarakan les tambahan hanya untuk mata-mata pelajaran yang di-Unas-kan. Mayoritas lembaga bibel yang bertebaran di mana-mana pun hanya menggelar untuk mata pelajaran yang di-Unas-kan. Dan bukan rahasia umum lagi, bahwa guru-guru mata pelajaran non-Unas sudah diinstruksikan agar memberi nilai 'lulus' bagi siswa. Bahkan nilai mata pelajaran non-Unas berfungsi sebagai pendongkrak nilai rata-rata di ijasah, sehingga memburuknya nilai Unas bisa dikompenkan oleh tingginya nilai mata pelajaran non-Unas.

Era Usek tidak pernah mendiskriminasikan dan mendikotomikan setiap mata perlajaran. Waktu itu, nilai rata-rata tidak boleh dibawah 6,0, nilai merah (dibawah 6,0) tidak boleh lebih dari tiga kali, dan tidak boleh ada nilai dibawah 4. Bila tidak memenuhi persyaratan itu, maka tanpa mempedulikan tinggi-rendahnya nilai mata pelajaran apa, otomatis tidak lulus. Akhirnya kami di era Usek belajar Agama sama seriusnya dengan belajar Berhitung/Aldjabar (kini Matematika), belajar Olahraga sama semangatnya dengan belajar Bahasa Indonesia, belajar Prakarya (kini Keterampilan) sama tekunnya dengan belajar Ilmu Hajat-Ilmu Tumbuhan-dan Ilmu Alam (kini IPA).

Permainan semacam itu sudah tercium di masyarakat, termasuk para siswa. Oleh karenanya, para siswa pun memandang remeh mata pelajaran non-Unas. Semua stakeholder pun memahami, bahwa proses belajar-mengajar lebih serius
di mata-mata pelajaran Unas. Akibatnya, tidak semua dimensi manusia diperhatikan, sehingga tujuan untuk mencapai manusia Indonesia yang utuh menjadi terhambat. Kita hanya bisa menghasilkan 'manusia pincang'. Ada yang otaknya pintar, tapi moralnya jelek. Ada yang badannya sehat, tapi mentalnya sakit. Ada yang banyak tahu, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Ada yang banyak omong, tapi tidak banyak berbuat. Ada yang banyak janji, tapi tidak banyak yang ditepati.

Usek sudah terbukti buruk. Unas pun tidak kalah buruknya. Apakah kita harus kembali ke Usek atau lanjutkan Unas? (***)

Doktrin (Budi Pekerti) yang Menyesatkan Anak


BANYAK orangtua (terutama orangtua teroris) kaget dan tidak percaya kalau anak-anak mereka, di luar rumah, membunuh banyak orang! Karena yang mereka alami adalah anak-anak mereka ramah, sopan, dan menghormati mereka. Istri saya yang guru pun merasa aneh banyak orangtua muridnya kaget ketika dipanggil untuk ikut menangani kenakalan anaknya yang berkelahi, premanisme, dan minum mabuk. Dia pun kaget ketika tahu bahwa mantan muridnya yang baik dan sopan akahirnya berprofesi sebagai preman. Banyak pihak mengklaim bahwa pendidikan budi pekerti kita masih belum berjalan baik.

Apakah pendidikan budi pekerti tidak diberikan di sekolah, di masyarakat, dan di rumah? Tidak juga! Sekolah, keluarga, dan masyarakat sudah memperhatikan pendidikan budi pekerti. Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Ilmu Pengetahuan Sosial sudah cukup memperhatikan pendidikan budi pekerti. Orangtua di rumah dan masyarakat sudah cukup memperhatikannya! Pertumbuhan rumah ibadah dan aktivitas doa, pengajian, dll sudah cukup padat dilakoni masyarakat dan anak-anak kita. Lantas apanya yang salah?

Budi Pekerti dan Faktor-Faktornya

Budi pekerti berasal dari kata 'budi' dan 'pekerti'. Budi artinya tabiat, akhlak, watak, kebaikan, perbuatan baik (Kamus Bahasa Indonesia Sekolah Dasar/KBISD, Gramedia Pustaka Utama, 2006: 52) atau alat bathin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk (KBBI, 1993: 150). Sedangkan pekerti sama dengan budi (KBISD, 2006: 273; dan KBBI, 1993: 742). Jadi, budi pekerti artinya perangai, sikap, akhlak, watak yang berwujud pikiran, perkataan, dan tindakan manusia berdasarkan olah pikiran (akal sehat) dan perasaan (hati nurani) (KBBI, 1993: 150). Ini berarti budi pekerti adalah etika, sebuah filsafat moral.

Budi pekerti hanya punya batasan fokus (moral), bukan pada masalah lokus (siapa, apa, kapan, dan di mana). Oleh karena itu budi pekerti tidak dibatasi dari dan untuk
siapa, kapan dan di mana, tetapi dari siapa pun, untuk siapa pun, kapan saja, dan di mana saja.

Budi pekerti berbeda dari agama! Agama berbicara tentang baik-buruk yang berefek pada dosa-suci, sedangkan budi pekerti pada wilayah baik-buruk dan benar-salah, sehingga efeknya bisa suci-dosa dan adab-biadab. Pelanggaran agama urusannya dengan Tuhan, tapi pelanggaran budi pekerti urusannya dengan manusia dan atau Tuhan.

Contoh, agama mengajarkan bahwa perbuatan menghilangkan nyawa orang adalah dosa. Sedangkan budi pekerti mengajarkan bahwa mengemudi kendaraan di Indonesia di jalur kanan itu salah (dan terkena hukuman di pengadilan), kemudian mengakibatkan tabrakan yang merugikan pihak lain, maka dosa (hukumannya masuk penjara dan neraka). Sepanjang melanggar peraturan lalu lintas tapi tidak berefek pada kecelakaan, maka itu hanya 'salah', belum 'dosa'.

Jadi, budi pekerti adalah permainan rasio dan rasa; bukan hanya rasio dan bukan hanya rasa. Bila hanya mengandalkan rasa atau rasio saja, maka pasti fatal dalam penerapannya.

Lantas bagaimana memahami anak yang sopan dan hormat pada guru dan orangtua, taat beribadah, namun menjadi pembunuh, pemerkosa, penipu, pelaku KKN, dll? Apa yang bisa dijelaskan dari pendidikan budi pekerti bila menyaksikan berita di media mssa bahwa banyak anak usia sekolah membunuh temannya?

Patuh dan Hormat Kepada 'Siapa' atau 'Apa'?

Ada beberapa tradisi-doktrin yang salah yang dilakukan oleh para orangtua, masyarakat, dan guru/sekolah kita selama ini. Beberapa kesalahan itu antara lainnya ajaran 'kepatuhan' dan 'penghormatan'.

1. Kepatuhan

Selama ini kita mengajarkan agar anak-anak kita harus patuh kepada orangtua dan guru. Orangtua yang dimaksudkan adalah orang yang melahirkan anak itu dan guru adalah orang yang mengajarkan anak itu di sekolah. Kalaupun mau diperluas teriminologinya, kelompok yang termasuk dalam kategori 'orangtua' adalah mereka yang lebih tua dari usia anak itu.

Ajaran ke-patuh-an semacam ini membuat anak-anak memahami bahwa terhadap orang yang bukan melahirkan mereka, yang tidak mengajarkan mereka, dan atau yang usianya sama atau lebih muda dari mereka, maka tidak perlu di-patuh-i. Meskipun ada orang yang memiliki cara tutur, cara pikir, dan cara tindak yang baik dan benar, tapi karena mereka bukan tergolong 'orangtua' dan 'guru' anak itu, maka anak itu tidak perlu me-mematuh-inya.

Ajaran ke-patuh-an semacam ini membuat lokus budi pekerti begitu sempit, terutama bukan lagi 'dari' dan 'untuk' siapa saja, melainkan dari 'anak' kepada 'orangtua dan guru'. Padahalnya nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan seorang anak bisa berasal dari siapa saja yang mereka jumpai (baik langsung maupun tidak) dalam hidupnya. Kenapa cara pandang orangtua dan guru menjadi begitu apriori seperti ini?

Selain itu, ke-patuh-an semacam itu membuat malangnya nasib anak yang memiliki orangtua dan guru yang kualitas SDM-nya rendah, baik pikiran maupun peri-lakunya. Banyak kejahatan pun dilakukan oleh orangtua dan guru. Kebodohan pun melanda orangtua dan guru. Ini berarti anak-anak yang lahir dan hidup dari orangtua dan guru seperti itu akan kehilangan banyak nilai-nilai bagus untuk kehidupannya.

Lebih dari itu, pola pikir seperti itu membuat orangtua dan guru mengajarkan tentang kesombongan dan menolak kodrat bahwa manusia adalah makluk yang tidak sempurna. Padahal mereka pun sering mengajarkan kepada anak-anak bahwa manusia adalah makluk tidak sempurna dan kesempurnaan hanya milik Tuhan. Sebab kalau ajaran itu benar, mestinya orangtua dan guru pun makluk tidak sempurna, mesti ada kelemahannya. Lalu kenapa harus 'patuh' kepada orangtua dan guru yang sama-sama sebagai makluk tidak sepurna seperti juga anak-anak?

Jika demikian, ke-patuh-an adalah relatif! Anak-anak pun (kadang-kadang) ada sisi lebihnya; misalnya rajin belajar setiap malam! Kenapa orangtua dan guru pun tidak rajin belajar setiap malam seperti halnya anak-anak? Anak-anak kalau berkelahi dengan temannya di pagi hari, nanti sore sudah damai lagi; sedangkan orangtua dan guru bermusuhan bisa bertahun-tahun (bahkan ada yang dibawa mati)? Kenapa orangtua dan guru pun tidak patuh kepada anak-anak? Bukankah ini berarti orangtua dan guru melestarikan dan melaksanakan sikap sombong dan percaya bahwa diri mereka pun mahasempurna seperti Tuhan?

Jadi, pendidikan ke-patuh-an yang benar adalah bukan dari anak kepada orangtua dan guru, tapi bisa dari orangtua dan guru kepada anak, dan dari siapa pun kepada siapa pun. Oleh karena itu, ke-patuh-an hanya kepada yang 'benar'! Rumusnya hanya satu: patuh-ilah kepada ke-benar-an! Selama patuh kepada siapa, pasti penerapannya salah.

2. Penghormatan

Selama ini pun kita mengajarkan agar anak-anak harus meng-hormat-i orangtua dan guru. Ajaran semacam ini membuat anak-anak kita tidak mau meng-hormat-i orang yang tidak melahirkan dan mengajarkan mereka di sekolah. Anak-anak akan bersikap biadab kepada orang lain (selain orangtua dan guru).

Ajaran semacam itu pun akan mengakibatkan adanya pandangan bahwa orangtua dan guru tidak layak menghormati anak-anak, karena anak-anak bukan yang melahirkan orangtua dan bukan pendidik guru. Ini pun mempersempit (bahkan menyesatkan) makna budi pekerti. Ini adalah wujud penjajahan (koloni) yang sengaja dihidup-lestarikan oleh para orangtua dan guru. Bila Dianna Hine (dalam Bimbingan Lenghkap Membentuk EQ Anak Sejak Dini, 2007) mengatakan bahwa perlakuan anak Anda di masa depan hanya meniru perlakuan Anda yang mereka pernah saksikan, dengarkan, dan alami, maka sebaiknya hentikan ajaran 'anak-anak wajib hormati orangtua dan guru' saja. Sebab perilaku yang tidak menghhormati orang lain (selain kepada orangtua dan guru) pun akan menjadi bawaan anak-anak dalam hidupnya. Pepatah 'buah jatuh tidak jauh dari pohon' dapat dibenarkan dari pendapat Dianna Hine.

Anak-anak baru tidak membunuh, tidak menipu, tidak merampok, tidak memperkosa, dan tidak melakukan seks bebas kalau terhadap orangtua dan gurunya. Ada anak yang rela memperkosa wanita lain (asalkan bukan memperkosa ibunya), rela menghamili dan meninggalkan pacarnya (asalkan tidak menghamili ibunya dan gurunya), dll.

Doktrin ke-patuh-an dan peng-hormat-an kepada individu (termasuk kepada orangtua dan guru) pun tidak hanya menghasilkan anak-anak yang melakukan kejahatan terhadap orang lain (selain orangtua dan gurunya), tapi juga anak-anak yang rela mencelakakan dirinya sendiri atas dasar perintah orangtua dan gurunya.

Harian Kompas (26/2/2006: 4) menurunkan kisah Lara, siswi Kelas II SMEA di Jakarta, yang melakoni sebagai pelacur sejak Kelas II SMP. Sebagai germonya adalah ibu kandung Lara sendiri (Nyonya Sri). Lara mengaku, bahwa dirinya tidak berani menolak permintaan ibunya (agar Lara jadi pelacur) lantaran dia tidak ingin menjadi anak durhaka (dosa) dengan tidak 'patuh' dan 'hormat' kepada ibunya.

Tahun 1990 saya pernah berjumpa dengan seorang ibu dan anak gadisnya (kurang-lebih berumur 12 tahun) di sebuah hotel di kota Malang. Ibu itu tengah menunggu pria hidung belang yang mau "membeli" keperawanan anak gadisnya. Dengan tanpa ekspresi menyesal, ibu itu mengisahkan bahwa semua anak perempuannya yang sudah besar dan tua pun dulunya dia "jual" keperawanan mereka. Selain karena desakan ekonomi, dia pun beralasan: "Kalaupun saya tidak 'menjual', nanti juga ada orang lain yang akan 'menjual' mereka. Daripada untuk orang lain, lebih baik untuk saya sendiri!"

Oleh karena itu, pendidikan ke-patuh-an dan peng-hormat-an yang benar adalah patuh-ilah dan hormat-ilah semua orang di muka bumi ini! Bukan hanya meng-hormat-i orangtua dan guru! Pendidikan budi pekerti semacam ini secara otomatis orangtua dan guru pun sudah termasuk di dalamnya.

Dalam pola pendidikan budi pekerti seperti ini, akan memperluas cakrawalanya menjadi 'patuhi kebenaran' dan 'hormati semua makluk ciptaan Tuhan!' Hal ini karena semua makluk adalah gambaran Allah dan memiliki kegunaan untuk pemekaran makna hidup semua manusia. Sekaligus pula, tidak 'patuh pada kebenaran' dan 'tidak hormat kepada semua makluk' akan mengancam eksistensi kebahagiaan manusia yang akan berefek pada dosa-suci dan salah-benarnya anak.

Monday, July 19, 2010

Bahasa Jawa yang Dicibir


BANYAK pihak yang gelisah akan eksistensi bahasa Jawa! Guru-guru kecewa melihat para siswa dewasa ini yang cenderung menempatkan Bahasa Jawa jauh di bawah Bahasa Inggris, bahkan seluruh bahasa asing. Para pengamat budaya Jawa mulai gerah melihat penggunaan bahasa Jawa yang mulai semakin langka dan bahkan semakin semrawut dan dijadikan selipan-agaya bahasa diantara penggunaan utama bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa asing lainnya. Masyarakat pun semakin mengeluh bahwa penggunaan cara berbahasa Jawa generasi muda semakin kehilangan unggah-ungguh-nya di mata kaum tua.

Bahasa Jawa dimasukkan sebagai muatan lokal (Mulok) sejak SD hingga SMU/K pun belumlah cukup! Pemerintah daerah (Pemda) di beberapa daerah, beberapa tahun lalu dimulai dari Surabaya dan kini diikuti Pemda Bantul, mulai mewajibkan para siswa untuk menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi harian, walau sebatas hari-hari tertentu.

Betapapun Surabaya sudah lebih dahulu melaksanakan regulasi tersebut, namun sampai kini Bahasa Jawa belum juga menjadi ciri khas masyarakat Surabaya. Apakah Bantul akan menuai kesuksesan?

Bahasa Jawa vs Ideologi Global

Pada suatu hari di semester dua tahun ajaran 2008-2009, saya bertanya pada putri saya yang kala itu duduk di Kelas 5 SD (kini Kelas 6 SD); tentang kenapa semakin hari dia semakin tidak tertarik untuk belajar bahasa Jawa. Pertanyaan ini saya patut ajukan karena sejak Kelas 1 hingga Kelas 4 SD dia tergolong paling bagus dalam bahasa Jawa di kelasnya. Semakin hari kian mengendur semangatnya untuk belajar bahasa Jawa.
Di luar dugaan saya, dia menjawab bahwa semakin dia mengetahui bahasa Jawa maka dia semakin merasa diremehkan, disepelekan, dihujat, dan direndahkan. Alasannya, karena kosa kata dan kalimat dalam bahasa Jawa dibagi dalam klasifikasi ngoko, kromo, dan kromo inggil. Semakin rendah status sosial dan usia seseorang, maka semakin rendahlah pula bahasa yang diucapkan kepadanya. Sebaliknya, semakin tinggi status sosial dan usia seseorang, maka semakin tinggi pula bahasa yang digunakan kepadanya. Contoh, kata 'makan' untuk diucapkan kepada kaum jelata, pembantu, orang miskin, orang rendahan, dan anak kecil boleh menerima kata mangan atau madang. Sedangkan mereka yang lebih tua, berjabatan tinggi, dan ningrat wajib menerima kata dhahar.

Menurutnya, penggunaan bahasa yang berbeda itulah menunjukkan bahwa dalam alam pikiran, pandangan, dan hidup Jawa selalu mendikotomikan manusia dari aspek status sosial, pangkat dan harta. Martabat manusia di mata masyarakat Jawa selalu berbeda bukan menurut moralnya, melainkan menurut pangkat dan usianya. Di mata masyarakat Jawa, sesama manusia tidak layak untuk saling menghormati, melainkan manusia muda wajib menghormati manusia tua, sedangkan manusia tua tidak perlu menghormati manusia muda. Manusia berpangkat wajib dihormati oleh manusia tidak berpangkat, sebaliknya manusia berpangkat tidak wajib menghormati manusia tidak berpangkat.

Saya dapat memahami perasaan dan jalan pikiran dia dengan cara tidak memaksakan agar dia kembali menekuni bahasa Jawa. Saya bersikap demikian karena saya dapat menerima posisi dia yang semenjak kecil sudah akrab dengan salah satu trend atau ideologi global, yaitu demokratisasi dan hak asasi manusia (HAM). Sejak kecil dia sudah menerima dan melaksanakan demokratisasi dan HAM. Akibatnya, segala yang bertentangan dengan demokrasi dan HAM pasti ditolaknya.

Konstitusi kita sudah merespon demokrasi dan HAM. Oleh karenanya, tidak salah bagi anak-anak kita untuk mencibiri bahasa Jawa yang cenderung melanggengkan feodalisme dan menghujat martabat manusia muda dan manusia tidak berpangkat. Untuk itu, mereka lebih suka bahasa Inggris (dan bahasa asing internasional) yang lebih humanistik.

Cara Melanggengkan Bahasa Jawa
Bagaimana cara kita melanggengkan bahasa Jawa bergantung pada posisi bahasa Jawa dalam kehidupan manusia. Manusia hidup untuk mencari kebahagiaan. Caranya adalah dengan memenuhi kebutuhannya.
Ada dua kriteria bagi manusia untuk menggunakan sesuatu (termasuk Bahasa Jawa), yaitu sesuatu itu dapat memecahkan masalah dan sesuatu itu tidak merusak nilai yang sudah taken for granted. Ketika dunia sudah mengglobal dan bahasa Indonesia sudah diterima sebagai bahasa persatuan, maka posisi bahasa Jawa semakin sulit dihiraukan. Sebab, dalam pengembangan diri (lewat iptek) dan kegiatan ekonomi, bahasa Indonesia, Inggris, Jepang, China, Korea, Jerman, Perancis, Belanda, Italia, Arab, dan Latin merupakan bahasa pengantar dalam setiap kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Sudah tidak ada produk global dan berbagai teori yang tersedia dalam bahasa Jawa. Hal ini dipengaruhi oleh posisi orang Jawa bukanlah produsen global. Oleh karenanya, sang produsen bebas menggunakan bahasa yang akrab dengannya.

Selama bahasa Jawa tidak memiliki kontekstual dengan kebutuhan hidup masyarakat, apa lagi cenderung menolak demokrasi dan HAM, maka masyarakat tidak merasa didesak untuk tahu dan menggunakan bahasa Jawa. Akhirnya posisi bahasa Jawa sangat lemah, yaitu hanya sebagai kenangan akan masa lalu kehidupan di Jawa. Posisi ini sangat lemah di mata masyarakat. Oleh karena itu, peraturan Pemda maupun sekolah yang mewajibkan masyarakat (pegawai dan siswa) berbahasa Jawa di hari-hari tertentu tidak akan sukses dalam menyelamatkan bahasa Jawa. Sebab kebijakan itu hanya memobilisasi masyarakat untuk menggunakan bahasa Jawa tanpa sodoran manfaat bagi masyarakat. Pada akhirnya masyarakat tidak akan peduli pada hal-hal yang tidak berguna.

Ada dua tindakan strategis yang bisa dgunakan. Pertama, Setiap produk yang dihasilkan di Jawa wajib menggunakan bahasa Jawa. Misalnya, Jamu Air Mancur wajib menggunakan bahasa Jawa dalam melakukan komunikasi produknya dengan masyarakat, khususnya yang tertulis dalam bungkusannya.
Kedua, Segeralah deklarasi bahasa Jawa (misalnya melalui setiap even Kongres Bahasa Jawa) yang menghapus dikotomi kromo, ngoko, dan kromo inggil, melainkan hanya satu bahasa Jawa yang resmi, misalnya ngoko saja, kromo saja, atau kromo inggel saja. Hasil deklarasi ini harus segera direspon oleh Depdiknas dalam pembuatan krikulum muatan lokal agar tidak lagi menggunakan kosakata yang diskriminatif dan dehumanisasi masyarakat pemakainya.


Sunday, July 18, 2010

Reformasi Perpustakaan di Indonesia


Artikel Opini:

Memperingati Hari Kunjungan Perpustakaan (14 September):

MASALAH minat baca (apa lagi budaya baca) di negerti ini masih teramat rendah. Oleh karena itu, berbagai pihak terus berperan untuk meningkatkan minat baca. Salah satunya adalah perpustakaan.

Selain perpustakaan sekolah, universitas, dan berbagai lembaga studi, sampai saat ini jumlah Taman Baca Masyarakat (TBM) di Indonesia tidak kurang dari 2.488 buah ; dengan tiga propinsi yang memiliki TBM terbanyak ada di Jawa Barat (448 buah), Jawa Timur (402 buah), dan Jawa Tengah (139 buah). Sedangkan tiga propinsi dengan TBM terendah adalah Irian Jaya Barat (0 buah), Kalimantan Tengah (2 buah), dan Riau (3 buah). (Direktori TBM dan Kursus Direktorat Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, 2006).

Ketika kini Depdiknas memekarkan Dirjen PLS menjadi Dijen Pendidikan Non Formal (PNF) dan Dirjen Pendidikan Masyarakat (Dirjen Penmas), maka di masa depan akan semakin banyak perpustakaan dan TBM yang bertumbuh. Apa lagi ada kepala daerah tertentu yang menaruh respek khusus pada pengembangan minat baca masyarakat, misalnya gubernur DIY sampai membuat keputusan khusus agar perpustakaan bertumbuh hingga di tingkat desa/RW, maka jumlah TBM dan perpustakaan akan semakin banyak.

Dalam berbagai forum, para pustakawan mengeluh yang sama: perpustakaan sepi pengunjung. Banyak buku berdebu dan dihuni serangga. Banyak pustakawan ngantuk! Banyak IT perpustakaan digunakan untuk game. Belakangan saya mendengar dari rekan-rekan pustakawan bahwa beberapa TBM di Yogyakarta berubah kegiatan (dari baca) menjadi tari, ukir, ketoprak, dll. Mengapa perpustakaan masih sepi pengunjung?

Hal yang Belum Dijamah

Sebelum mencebur diri menjadi pembaca, setiap orang harus melalui tahap-tahap berikut: (1) Mau membaca, dan (2) Mampu membaca. Kemauan untuk membaca itu ada kalau orang itu sadar akan kebutuhan bahwa membaca itu penting dan di mana letak pentingnya. Sedangkan kebutuhan itu ada kalau dia sadar akan kesenjangan antara yang ia cita-citakan dengan yang sedang ia hadapi saat ini serta tantangan (luar) yang menghalanginya dan kelemahan (diri) yang ia miliki.

Sedangkan kemampuan membaca berhubungan dengan keterampilan berbahasa; yang dimulai dari mengenal ejaan, tanda baca, kata, kalimat, paragraf berikut arti. Kemampuan membaca itulah yang membuat seorang pembaca bisa memahami isi bacaan. Selama orang tidak bisa memahami isi bacaan dengan baik, maka dia tidak akan bisa menemukan nikmatnya membaca dan lambat-laun dia akan mundur lagi dari membaca.

Sampai saat ini cita-cita negara miskin (terutama Indonesia) adalah memiliki kekayaan dan kekuasaan. Sementara realitanya (meskipun ada pembaca yang sukses), banyak yang tidak membaca pun mendapat kekayaan dan kekuasaan, yaitu lewat KKN dan kejahatan. Inilah yang membingungkan masyarakat tentang di mana pentingnya membaca.

Sampai saat ini banyak orang merasa penting dengan sekolah. Namun tujuan sekolah masih sebatas untuk nilai/rapor/ijasah/lulus. Jadi, membaca untuk lulus! Makanya membaca hanya buku teks pelajaran, hanya waktu ujian, dan membuat tugas. Buktinya, banyak mantan siswa dan mahasiswa justru akhirnya bukan pembaca. Jadi, membaca bukan menjadi budaya, bukan menjadi gaya hidup. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat kita enggan berkunjung ke perpustakaan; karena mereka tiudak melihat pentingnya membaca.

Kita tidak menutup mata terhadap sekian banyak orang yang pernah berkunjung ke perpustakaan. Namun tidak semua orang yang pernah ke perpustakaan akhirnya menjadi pembaca. Banyak orang yang pernah mencoba membaca pada akhirnya mundur untuk tidak membaca lagi. Sementara sebagian lainnya memilih membaca sebagai gaya hidup, sebagai budaya dirinya.

Salah satu faktor yang membuat orang bertahan menjadi pembaca apabila orang itu bisa menemukan kenikmatan dalam membaca. Selama ia tidak nikmat, maka dia akan kembali lagi untuk tidak membaca. Sementara letak nikmatnya bacaan terletak pada isinya. Jadi, mereka yang sudah mencoba membaca tapi akhirnya tidak membaca, berarti mereka tidak bisa memahami isi bacaannya.

Kesulitan memahami isi bacaan dipengaruhi tiga hal: (1) Kemampuan berbahasa seorang pembaca yang rendah, (2) Bahasa tulis dalam bacaan yang buruk, dan (3) Sistimatika tulisannya yang buruk. Faktor (1) berasal dari internal masyarakat, sedangkan faktor (2) dan (3) dipengaruhi oleh mutu penerbitan (dan pengarang) yang buruk.

Sampai saat ini disinyalir bahwa jumlah orang Indonesia yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar cukup besar. Mutu pendidikan kita (terutama setelah ada kebijakan wajib belajar 9 tahun) cukup rendah yang akhirnya seperti kegiatan ijasahnisasi. Kondisi seperti ini menjadikan masyarakat tidak memiliki kemampuan membaca dan memahami isi bacaan dengan baik.

Dalam keadaan demikian, ada masyarakat yang tetap memilih bacaan dengan bahasa dan sistimatika yang buruk, dan ada sebagian yang mundur dari membaca. Kedua kelompok inilah yang akhirnya menambah buruknya grafik membaca dan SDM bangsa ini.

Ketika masyarakat tidak menemukan pentingnya membaca dan tidak mampu memahami isi bacaan dengan baik, maka masyarakat tidak akan memiliki kemauan dan kemampuan membaca. Sementara itu, perpustakaan selalu dan hanya dengan dua peran: menyediakan bacaan dan ruang baca. Ibaratnya perpustakaan dan masyarakat asyik sendiri-sendiri! Di tengah kualitas keluarga, sekolah, dan masyarakat yang buruk maka belum bisa kita harapkan terciptanya masyarakat yang mau dan mampu membaca. Inilah faktor-faktor yang membuat perpustakaan selalu sepi pengunjung.

Reformasi Perpustakaan

Mengatasi permasalahan minat baca di tengah masyarakat yang tidak memiliki kemauan dan kemampuan membaca, maka paradigma perpustakaan sebagai pencipta akses bacaan bagi masyarakat harus dirubah menjadi perpustakaan sebagai pencetak insan kutu buku. Paradigma seperti ini membuat kegiatan perpustakaan tidak lagi sekadar penyedia bacaan dan ruang baca, tetapi sekaligus menjadi mengkampanyekan dan membangun paradigma membaca, baik posisi membaca dalam hidup ini maupun melalukan proses pembelajaran membaca bagi masyarakat. Konsekuensinya adalah perpustakaan harus memiliki tiga kegiatan pokok, yaitu membangun kemauan, membangun kemampuan membaca, dan menyediakan bacaan.

Jika kita sudah mampu membangun kemauan dan kemampuan membaca masyarakat, maka saat itulah perpustakaan akan kebanjiran pembaca. Bagi yang ekonomi baik, toko buku kita akan kebanjiran pembeli buku. Pelanggan pers kita akan membludak.

Tiga peran perpustakaan inilah yang saya dan kawan-kawan dari Pustaka Pendidikan Untuk Masyarakat (PuPUM) lakukan di Dusun Petir, Srimartani, Piyungan, Bantul. Dalam satu tahun ini membuktikan: (1) Rekor membaca 42 buku/minggu/pembaca, (2) Pembantu rumah tangga (PRT) aktif membaca, (3) Membaca sejak balita, (4) Menghasilkan tiga pustakawan dalam satu dusun, (5) Menghasilkan keluarga yang mengalokasikan dana untuk membeli buku, (6) Menghasilkan keluarga yang melakukan kegiatan wisata baca, dan (7) Menghasilkan 9 'Kutu Buku'. (Refleksi Dari Dusun Petir: Pro-PM: 3 Cara Mudah Menghasilkan Generasi 'Kutu Buku', PuPUM, 2007).

Salah satu missi Depdiknas hingga 2009 adalah mendorong terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat melalui peningkatan budaya baca serta penyediaan bahan-bahan bacaan yang berguna baik bagi aksarawan baru maupun anggota masyarakat lainnya agar memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang relevan bagi peningkatan produktivitas mereka (Ace Suryadi, Ph.D, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, 2007). Frasa kunci di sini adalah peningkatan budaya baca serta penyediaan bahan-bahan bacaan! Salah satu program untuk menyukseskan missi ini adalah peningkatan budaya baca dan pembinaan perpustakaan.

Sedangkan Direktur Direktorat Pendidikan Masyarakat, Sudjarwo, dalam Pokok Kebijakan Direktorat Pendidikan Masyarakat, mengatakan bahwa pihaknya akan membangun TBM di setiap desa untuk mewujudkan "Perpustakaan Masyarakat"(Depdiknas, Februari 2007: h. 28 ). Direncanakan, dalam tahun 2007 saja, Depdiknas akan membangun lagi sekitar 3.321 TBM di setiap desa, terutama di daerah bebas buta aksara (Sudjarwo, Ibid., hal. 30).

Budaya baca tidak (hanya) dengan membangun perpustakaan yang menyediakan bacaan. Budaya baca tidak hanya dengan membangun fisik perpustakaan, tapi isi dan kegiatannya. Menyediakan bacaan saja sama dengan mengkianati missi pembudayaan membaca. Menyediakan bacaan saja sama dengan menyederhanakan masalah budaya baca.

Jika kita tetap memaksakan kehendak dengan membangun perpustakaan yang hanya menyediakan bacaan dan ruang baca, maka perpustakaan adalah salah satu kegiatan yang sia-sia. Artinya manfaatnya tidak sebesar pengorbanan kita. Kelihatannya kita sibuk membangun, tapi signifikansinya rendah. Fungsi perpustakaan yang hanya menyediakan bacaan dan ruang baca bukan menarik dan mendorong masyarakat ke bacaan, tapi hanya mampu mempertahankan dan melanjutkan masyarakat yang sudah memiliki kemauan dan kemampuan membaca.

Selamat Hari Kumnjungan Perpustakaan, 14 September!

Harga Buku: Tidak Cukup Dengan Membeli Hak Cipta!

KELUHAN masyarakat soal mahalnya buku teks pelajaran (BTP) mulai direspon pemerintah dengan membeli hak cipta BTP. Tahun ini dianggarkan Rp. 4 miliar untuk 59 jilid buku. Pemerintah mengundang para penulis untuk mengirim naskahnya hingga 5 Oktober 2007. Pemerintah akan memperbanyak dalam bentuk disket, cakram, dan e-book di internet. Masyarakat mengaksesnya secara gratis, kecuali untuk kepentingan komersial harus mendapat ijin, seperti para penerbit buku cetak Butir perjanjian yang akan diikat bahwa para penerbit harus menjual dengan harga 50 persen lebih murah dari saat ini. (Kompas, 30 Juli 2007: 12).

Apakah kebijakan ini dapat menolong dayabeli masyarakat dalam melaksanakan hak untuk memperoleh pendidikan?

BTP dan Dayabeli

Dayabeli BTP adalah kemampuan membeli BTP. Kemampuan membeli sangat bergantung kepada keseimbangan yang rasional antara keadaan keuangan yang dimiliki dengan harga BTP yang ditawarkan. Apabila harga BTP lebih tinggi dari keadaan riil keuangan yang dimiliki, maka orang tidak akan bisa membeli BTP. Sebaliknya, apabila harga BTP lebih rendah dari keadaan riil keuangan yang dimiliki, maka orang akan bisa membeli BTP.

Ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah, yaitu: (1) Menekan harga buku hingga di bawah atau seimbang dengan keadaan keuangan masyarakat, dan (2) Meningkatkan pendapatan masyarakat. Apa yang dilakukan pemerintah dengan pembelian hak cipta adalah dalam rangka menekan harga buku.

Yang paling penting dari dayabeli adalah bukan hanya menekan harga jual BTP-nya, tetapi keseimbangan antara keadaan keuangan dengan harga BTP. Padahal keseimbangan antara keadaan keuangan dan harga BTP itu tidak hanya dengan rendahnya 50 persen harga BTP dari saat ini, tapi juga dari tidak bertambah tingginya inflasi dan harga barang dan jasa kebutuhan hidup yang lainnya serta meningkatnya pendapatan masyarakat.

Mengharapkan harga buku turun 50 persen dari saat ini adalah sesuatu yang sulit terjadi! Dari patokan pemerintah bahwa penerbit hanya boleh menjual 50 persen lebih rendah dari harga saat ini menunjukkan pemerintah menilai bahwa selama ini para penulislah yang mengambil bagian 50 persen dari harga buku. Padahalnya tidak ada satupun penulis buku di Indonesia yang pernah dibayar 50 persen dari harga jual buku. Jatah untuk para penulis berkisar antara 10-20 persen. Bila sekarang pemerintah membeli hak cipta penulis, berarti pemerintah baru memotong 10-20 persen dari harga jual BTP.

Kemudian, inflasi setiap tahun terjadi kurang-lebih 15 persen. Ini berarti setiap tahun penerbit harus menaikkan harga BTP kurang-lebih 15 persen. Jika dibanding dengan pembelian hak cipta penulis, maka harga buku di masa depan minimalnya sama dengan harga saat ini. Ini berarti mimpi akan harga BTP 50 persen lebih rendah dari saat ini adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

Jika pemerintah menginginkan harga BTP masa depan 50 persen lebih rendah dari saat ini, maka unit belanja produksi BTP yang dibiayai pemerintah tidak hanya sekadar membeli hak cipta; melainkan hingga ke unit-unit lainnya. Unsur-unsur biaya produksi buku meliputi royalti penulis, percetakan, distribusi, dan fee penerbit. Biasanya biaya cetak antara 20-30 persen, distribusi antara 30-50 persen (toko buku saja mintanya minimal 30 persen), fee penerbit antara 5-30 persen. Jadi, bila pemerintah membeli hak cipta penulis dan inflasi 15 persen per-tahun, maka harga BTP masa depan minimalnya baru sama dengan yang sekarang. Bila pemerintah mau menekan harga BTP masa depan hingga 50 persen, maka pemerintah harus ikut membiayai unit belanja percetakan atau distribusinya.

Tentu pemerintah akan kesulitan dana untuk melakukan subsidi BTP. Tetapi dengan menstabilkan harga BTP masa depan sama dengan yang sekarang saja sudah cukup membantu masyarakat; ketimbang harga BTP masa depan naik terus. Tapi kalau pemerintah mau konskuen pada regulasi anggaran pendidikan minimal 20 persen APBN/APBD, maka pemerintah ikut membiayai 50 persen dari keseluruhan biaya produksi BTP bukan hal yang berat.

Harga BTP saat ini pun sebenarnya masih bisa ditekan. Yang membuat biaya produksi BTP jadi mahal adalah masuknya pihak sekolah (guru) dengan menggunakan kekuasaannya sehingga terjadi monopoli pasar BTP. Setelah guru memilih BTP tertentu, kemudian mereka mewajibkan siswa untuk membayar dengan harga yang sudah mereka tentukan demi keuntungan di pihak sekolah/guru (BI Purwantari, Kompas, 30 Juli 2007: 36). Sementara itu, kekuasaan guru di sekolah sangat powerfull di mata orangtua dan (termasuk Komite Sekolah); baik karena orangtua takut para guru menekan nilai anak mereka maupun karena kehadiran Komite Sekolah masih sebagai 'penyetuju' keputusan sekolah/guru (Tonggo Anthon, Pikiran Rakyat, 2/8/2007). Oleh karena itu, sebenarnya salah satu cara pemerintah menekan biaya produksi BTP adalah dengan meniadakan campur tangan sekolah/guru dari tata niaga BTP dan memberdayakan Komite Sekolah (berubah dari 'penyetuju' ke 'penilai', 'penimbang', dan 'pengambil keputusan' atas setiap usulan sekolah/guru).

Awas Neo-Kapitalisme BTP!

Kehadiran kapitalisme di muka bumi ini tidak pernah sepi dari kritikan! Mekanisme pasar terlalu 'liar-buas' untuk siap memangsai setiap kaum lemah hingga kemiskinan dan kesenjangan menjadi pemandangan dunia yang amat memilukan. Lalu muncullah pemikiran bahwa pemerintah harus campur tangan dalam mengatur pasar, agar pasar lebih 'ramah' kepada kaum lemah. Inilah yang disebut dengan neo-kapitalisme!

Namun dunia kini bingung mencari sistem pengganti neo-kapitalisme; karena ternyata para birokrat (di belahan dunia mana pun) sukanya 'berselingkuh' dengan para pengusaha agar sama-sama berbuat saling menguntungkan diri sendiri dan sama-sama 'memeras' rakyat. Indonesia pun yang memproklamirkan diri sebagai ekonomi pancasila pun tidak jelas posisinya; melainkan ber-KKN dengan pengusaha untuk mengeruk keuntungan 'haram'.

Mekanisme masuknya BTP ke sekolah sudah diatur melalui Peraturan Mendiknas (Permendiknas) No. 11 Tahun 2005, tentang Buku Teks Pelajaran. Pasal 3 mengamanatkan bahwa BTP harus ditetapkan oleh Menteri atas rekomendasi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (Ayat 1), untuk muatan lokal ditetapkan oleh gubernur/bupati/wali kota (Ayat 2). Namun pengalaman membuktikan bahwa beberapa pejabat justru terlibat korupsi dalam pengadaan BTP, misalnya yang sudah menjebloskan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman (dan kini sedang membidik Bupati Sleman) dan pejabat-pejabat lainnya di negeri ini.

Republik ini sudah dicap-resmi sebagai republik korup yang melanda ke semua pelosok tanah air! Bila sekarang Sleman yang terungkap, bukan berarti daerah lain tidak korup terhadap BTP. Kebetulan baru Sleman saja yang diungkapkan. Ini berarti mahalnya BTP selama ini adalah tidak terlepas dari adanya KKN antara pejabat dan pengusaha/penerbit.

Bayangkan, baru pasal 'persetujuan' BTP masuk sekolah saja sudah membuat BTP semahal itu. Apalagi kalau ditambah dengan pembelian hak cipta penulis BTP! Bisa-bisa penulisnya hanya terima Rp. 1 juta, tapi lapor ke negara Rp. 100 juta. Jadi, yang paling penting di sini adalah bagaimana mekanisme pembelian hak cipta menjamin tidak adanya 'perselingkuhan' antara pejabat dan penulisnya?

Jangan mengira bahwa masyarakat tidak rugi karena membeli pakai uang negara. Uang negara itu uangnya rakyat juga! Nanti juga rakyat sendiri yang makin susah.

Tidak Harus Dengan BTP!

Kita terlalu tidak berani dengan berpikir lateral! Berbicara tentang peningkatan mutu pendidikan, BTP selalu mejadi pilihan wajib. Saya mengajak agar kita mencoba berpikir untuk meninggalkan BTP.

Anak saya pernah saya coba untuk memiliki BTP (ketika Kelas I dan II SD) dan tidak memiliki BTP (ketika Kelas III). Ternyata, baik proses maupun hasil belajar, anak saya tidak mengalami perbedaan mendasar antara memiliki dengan tidak memiliki BTP. Dia bisa mengikuti setiap proses belajar-mengajar (PBM) dan hasilnya lebih bagus ketika dia tidak memiliki BTP. Bagaimana cara belajar dengan tidak memiliki BTP?

Pemerintah sudah menyusun kurikulum dan silabus setiap mata pelajaran, baik di tingkat nasional maupun muatan lokal. Kami berusaha memiliki lembaran-lembaran itu. Ternyata ketebalan silabus setiap mata pelajaran berkisar antara 1 hingga 5 halaman kuarto. Kami fotokopikan silabus-silabus itu. Di SD hanya enam pelajaran, maka semua silabus dalam satu kelas hanya membutuhkan antara 5 hingga 30 halaman kuarto. Jika biaya fotokopi per-lembar Rp. 100, maka kami hanya mengeluarkan uang sekitar maksimum Rp.3.000. Padahal sebelumnya kami keluarkan uang tidak kurang dari Rp. 200.000.

Sebetulnya kalau kita pahami baik-baik terhadap BTP yang beredar saat ini dengan tebal per-bukunya hingga 100 lebih halaman, ternyata isinya sangat sedikit! Setiap kelas paling banyak terdapat 20 materi.

Tanpa membaca BTP, isi setiap materi hanyalah jawaban atas sekitar lima kata tanya: apa, mengapa, bagaimana, siapa, kapan, dan di mana. Misalnya, apa itu air, mengapa ada air, bagaimana air bisa eksis, siapa yang membutuhkan air, kapan adanya air, dan di mana air ada. Bagi orangtua atau keluarga yang serius mendidik anak, pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidaklah sulit untuk dijelaskan kepada anak. Dewasa ini, informasi seperti ini mudah didapati; lewat orang-per-orang, media massa, dan perenungan pribadi.

Salah satu sumber yang memudahkan kami adalah memiliki kamus dan ensiklopedi. Setiap pelajaran kami memiliki kamus dan ensiklopedinya. Jika SD dengan enam mata pelajaran dan setiap pelajaran kami memiliki kamus dan ensiklopedia, maka selama di SD anak kami hanya punya 12 buku, yaitu enam kamus dan enam ensiklopedi. Ensiklopedi dan kamuslah yang akan menjawab lima kata tanya tadi dalam setiap materi.

Mengapa hasil yang diraih anak saya lebih bagus daripada ketika mereka memiliki BTP? Ternyata mutu BTP kita cukup jelek! Dalam Pikiran Rakyat (2/8/2007) saya sudah menguraikan, bahwa saya belum temukan BTP yang berkualitas bagus; baik dari aspek ketuntatasn konsep, kebenaran konsep, sistimatika, maupun kebahasaannya. Dalam kondisi seperti ini, BTP justru merusak mutu pendidikan anak-anak kita.

Oleh karena itu, yang paling penting adalah pemerintah menyebarluaskan silabus bagi setiap siswa. Dengan silabus itulah setiap orangtua/keluarga akan mengembangkan sendiri dari berbagai sumber.

BTP yang ada pun lebih banyak mencetak lembaran kerja siswa (LKS) dengan soal yang diulang-ulang, tapi esensinya sama saja. Akhirnya orangtua membeli BTP ibaratnya membeli LKS-LKS yang diulang-ulang.(***)

 

ARSIP

Info Blog

Blog ini sebagai media publikasi pemikiran, eksperimen, dan kajian Tonggo Anthon; cemas akan kehancuran peradaban dunia yang disebabkan oleh realita pendidikan dunia selama (dan saat) ini; untuk dan bersama mereka yang sama cemasnya.
Revolusi Pendidikanku Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template